KOMPAS.com - Negara berkembang, termasuk Indonesia, seharusnya didukung penuh untuk mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menuturkan, negara berkembang jangan diberi tambahan tanggung jawab yang diemban negara maju.
Dadan menekankan upaya penurunan emisi, dan penurunan gas rumah kaca adalah tanggung jawab semua pihak.
Baca juga: GBK Jadi Kompleks Olahraga dan Ruang Terbuka Hijau, Listrik 100 Persen EBT
Namun, target global semestinya tidak mengatur pencapaian negara demi negara karena masing-masing memiliki keperluan dan kemampuan terkait situasi domestik.
Terlebih, target global tersebut tidak boleh membuat suatu negara menjadi tidak fleksibel.
"Kita ingin target global ini juga tidak masuk ke wilayah bagian negara ini harus sekian, negara ini harus sekian," ujar Dadan, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (17/4/2024).
Indonesia, kata Dadan, tidak bergabung dalam suara-suara mengenai upaya peningkatan tiga kali lipat kapasitas EBT untuk mencapai target pada 2030.
Baca juga: IESR: Penurunan Target EBT Ingkari Komitmen Net Zero Emission 2060
Namun Indonesia memiliki komitmen sangat kuat untuk mencapai emisi nol atau net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
"Jadi kita tidak mengurangi komitmennya untuk bagaimana mengembangkan energi terbarukan. Presiden (Joko Widodo) sudah menyampaikan NZE 2060 atau lebih cepat," ucap Dadan.
Dadan menyampaikan, Indonesia meyakini pengembangan EBT akan memberikan manfaat kepada penyediaan energi domestik, selain untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Dadan menekankan untuk mempercepat, memperluas, dan meningkatkan kapasitas EBT, perlu sesuai dengan keperluan dan sesuai dengan kemampuan.
Baca juga: Target EBT Diturunkan, Kredibilitas Indonesia Dipertanyakan
Dadan juga menekankan bahwa pemanfaatan EBT diupayakan tidak mengurangi daya saing.
"Saya tidak mengatakan bahwa energi terbarukan lebih mahal. Tapi dalam beberapa hal ini tidak bisa sekaligus langsung kepada misalkan pemanfaatan energi terbarukan berbasis energi surya. Ini kan intermittent," jelas Dadan.
Dia menambahkan, untuk mengembangkan jenis EBT yang intermittent diperlukan pendekatan teknologi khusus dan tambahan modal.
"Sehingga untuk dengan kualitas yang sama misalkan dengan energi yang konvensional itu masih diperlukan tambahan-tambahan biaya," kata Dadan.
Dadan menyampaikan hal tersebut sebelum Sidang Majelis Umum ke-14 Badan Energi Internasional atau International Renewable Energy Agency (Irena) di Abu Dhabi, Uni emirat Arab (UEA), Rabu.
Sidang tersebut akan dimulai dengan pernyataan tingkat tinggi dari Presiden Sidang Majelis Umum yakni Menteri Infrastruktur Rwanda Jimmy Gasore, Tuan Rumah Negara UEA, dan Direktur Jenderal Direktur Jenderal Irena Francesco La Camera.
Baca juga: Penurunan Target EBT Kurangi Serapan Tenaga Kerja Hijau
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya