KOMPAS.com - Keberadaan jenis spesies invasif atau jenis asing invasif (JAI) atau invasive alien species (IAS) di Indonesia masih kurang mendapat perhatian.
Menurut Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Aisyah Handani, meski JAI atau IAS menjadi salah satu isu yang seksi di dunia internasional, Indonesia sendiri belum memposisikan hal ini sebagai suatu hal penting.
"Di Convention on Biological Diversity (CBD) itu IAS selalu jadi target karena merupakan ancaman utama bagi keanekaragaman hayati. Di luar negeri sudah pada aware, tapi di Indonesia belum," ujar Aisyah dalam webinar "Awasi dan Kenali Spesies Invasif Asing" yang digelar Biodiversity Warriors, Jumat (17/5/2024).
Baca juga: Cara KLHK Lestarikan Satwa Langka, Gunakan Teknologi
Sebagai informasi, jenis invasif atau jenis asing invasif adalah spesies hewan, tumbuhan, atau organisme lain, sebagai pendatang di suatu wilayah yang hidup dan berkembang biak di wilayah tersebut.
Mereka menjadi ancaman bagi biodiversitas, sosial ekonomi, maupun kesehatan pada tingkat ekosistem, individu, maupun genetik.
Menurut penelitian, terdapat lebih dari 300 spesies invasif telah menyebar di Indonesia.
Bahkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per Juli 2021, dari 54 Taman Nasional yang dikelola KLHK, lebih dari 50 persen telah terinvasi jenis tumbuhan invasif dan mempengaruhi populasi satwa endemis dan tumbuhan khas Indonesia.
"Makanya kita terus mengupayakan supaya awareness terhadap IAS itu semakin luas, bekerjasama dan berkolaborasi misalnya dengan mahasiswa, pemerintahan, masyarakat," imbuh dia.
Situasi kondisi lain yang terjadi di Indonesia saat ini, kata dia, kurang regulasi terkait jenis asing invasif tersebut. Sebab, dinilai belum menjadi isu yang krusial secara nasional.
"Regulasi dan kelembagaan terkait IAS atau jenis asing invasif (JAI) itu masih minim, karena belum jadi isu nasional, belum ada regulasi dan kelembagaan yang kuat untuk mengelola IAS," papar Aisyah.
Baca juga: Banyak Satwa Indonesia di Luar Negeri, KLHK: Manfaatkan Protokol Nagoya
Padahal, keberadaan jenis asing invasif misalnya eceng gondok tidak hanya menjadi tugas BRIN. Melainkan sejumlah kementerian seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Antar lembaganya kita masih belum terlalu kuat koordinasinya, apalagi sampai menyeluruh ke sektor swasta, NGO, dan universitas. Tapi kita bisa bangun pelan-pelan," ungkap Aisyah.
Oleh karena hal-hal tersebut, baik sumberdaya manusia maupun anggaran untuk membahas JAI atau IAS masih sangat kurang.
Selain itu, belum ada database atau basis data yang mumpuni mengenai jenis asing invasif di Indonesia. Data seperti apa saja spesiesnya, di mana penyebarannya, angka dan jumlahnya, baru bisa ditemukan melalui situs luar negeri.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir kedatangan spesies asing invasif yang mengganggu keanekaragaman hayati? Secara menyeluruh, Aisyah menyebut perlu dilakukan pencegahan, lalu kemudian pengendalian.
"Pencegahan itu ketika belum masuk ke Indonesia. Tanggung jawabnya ada di badan karantina. Apakah spesies ini aman atau tidak masuk ke Indonesia? Jika spesiesnya sudah masuk atau post border, nanti tanggung jawabnya ada di kementerian atau lembaga terkait," papar dia.
Baca juga: Bersisian dengan Hutan Lindung, Tol IKN 3B-2 Dilengkapi Jembatan Satwa
Adapun secara spesifik, bagi area tertentu yang ingin meminimalisir atau mengurangi IAS, dapat melakukan kegiatan Analisis Risiko.
Caranya, dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi kawasan. Lalu, melakukan analisis resiko keinvasifannya, kemudian minta rekomendasi pengelolaan dengan stakeholder terkait.
Adapun pada 2023 lalu, sebenarnya negara-negara ASEAN telah mulai merumuskan rencana aksi pengelolaan atau pengelolaan jenis asing invasif, yang terbagi menjadi delapan poin.
"Pertama, penguatan kerangka kebijakan dan koordinasi. Kedua, peningkatan penyadartahuan dan edukasi, seperti yang dilakukan saat ini," ujar Aisyah.
Ketiga, peningkatan kapasitas dan sumberdaya. Keempat, penilaian resiko dan prioritas. Kelima, penguatan keamanan hayati antar batas negara dan antar pulau.
Keenam, peningkatan pengendalian dan pencegahan. Lalu peningkatan sistem pemantauan, evaluasi, dan laporan. Terakhir, pendanaan berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya