JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan, perubahan iklim memicu peningkatan berbagai penyakit menular.
Kenaikan suhu udara, melonjaknya intensitas cuaca ekstrem, hingga penurunan kualitas air menjadi faktor meningkatnya kasus tuberkulosis (TB).
Peneliti Pusat Riset Sains Data dan Informasi (PRSDI) BRIN, Dianadewi Riswantini, menjelaskan perubahan iklim berkontribusi terhadap penyebaran TB di Jawa Barat.
“Studi Climate Epidemiology yang kami lakukan bertujuan untuk memahami, merencanakan, dan mencegah berbagai dampak perubahan iklim," ujar Dianadewi dalam keterangannya, Senin (19/5/2025).
Baca juga: Perempuan, Masyarakat Adat, dan Pemuda Jadi Bagian dari Iklim
"Selain itu, hasilnya diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengantisipasi risiko kesehatan dan menyusun strategi adaptasi untuk melindungi kesejahteraan masyarakat,” jelas dia.
Menurut Diana, berubahnya ekologi vektor akibat krisis iklim dapat menyebabkan peningkatan penyakit dari nyamuk antara lain malaria, demam berdarah dengue, dan chikungunya. Selain itu, perubahan cuaca ekstrem berpotensi menimbulkan gangguan pernapasan seperti asma ataupun alergi.
"Dampak lain dari perubahan iklim juga menyebabkan penyakit, seperti tifus, kolera, diare, serta gangguan gizi," tutur Diana.
Paparan panas ekstrem juga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan stroke yang berpotensi mengakibatkan kematian. Di samping itu, kondisi lingkungan yang tidak stabil turut memengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Baca juga: Kesehatan Ibu Hamil Terancam akibat Krisis Iklim
Dalam riset Potential Risk of New Tuberculosis Cases in West Java, tim peneliti melakukan analisis risiko spasial dan temporal terhadap sebaran kasus TB baru di wilayah tersebut. Penelitian menggunakan data dari 2019-2022 milik BPJS, BPS Jawa Barat, Open Data, serta data iklim dari Copernicus Climate.
Hasilnya menunjukkan, Kabupaten Karawang, Majalengka, serta Kuningan memiliki interaksi spasio-temporal yang kuat terhadap penyebaran TB. Artinya, kasus baru meningkat secara signifikan dalam dimensi ruang dan waktu.
Sementara, wilayah Bogor, Sukabumi, Karawang, dan Bandung secara konsisten menunjukkan tingkat risiko relatif tinggi, dengan nilai risiko berkisar antara 1-15.
Diana menyebut, tim melanjutkan penelitian dengan memetakan faktor yang berpengaruh terhadap kasus TB.
Melalui metode analisis statistik peneliti mengidentifikasi variabel signifikan berupa curah hujan harian, kelembapan udara, kepadatan penduduk, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi layak, tingkat kemiskinan, serta partisipasi masyarakat dalam angkatan kerja.
Baca juga: Dampak Nyata Perubahan Iklim dalam Kehidupan Sehari-hari
“Dengan pendekatan ini, kami berharap dapat memberikan masukan berbasis data kepada pemerintah daerah, khususnya dalam menetapkan prioritas wilayah intervensi kesehatan dan strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim,” tambah Diana.
Dia menuturkan, selain tuberkulosis pendekatan serupa relevan untuk mengkaji penyebaran penyakit yang dipengaruhi oleh perubahan iklim seperti demam berdarah, malaria, hingga gangguan pernapasan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya