Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Satwa Indonesia di Luar Negeri, KLHK: Manfaatkan Protokol Nagoya

Kompas.com, 16 Mei 2024, 13:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong mendorong implementasi akses dan pembagian manfaat (access and benefit sharing) bagi Indonesia sebagai negara penyedia keanekaragaman hayati, sebagai bentuk implementasi Protokol Nagoya.

"Selalu saya tekankan banyak satwa-satwa ikonik kita berada di kebun binatang dan lain-lain di luar negeri. Mereka menjadi atraksi, mereka menciptakan pendapatan bagi kebun binatang dan negara di mana satwa kita berada," ujar Alue saat membuka Pekan Keanekaragaman Hayati 2024 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (15/5/2024). 

Lebih lanjut, kata Alue, meski sudah ada Protokol Nagoya mengenai akses dan pembagian manfaat yang merata kepada negara asal keanekaragaman hayati tersebut, masih belum ada implementasi yang sesuai. 

Baca juga: Deretan Prestasi Indonesia Cegah Kepunahan Satwa Langka

Padahal, ia menyebut seharusnya Indonesia maupun negara-negara lain yang satwa endemiknya berada di kebun binatang lain, bisa mendapatkan manfaat dari hal tersebut jika bersifat komersial.

Gunanya untuk mendukung upaya konservasi di negara-negara sumber hewan tersebut. 

"Harusnya kita berhak menerima akses dan benefit sharing dari zoo (kebun binatang) itu, kalau sifatnya sudah komersial. Ini yang kita dorong ke depan," imbuhnya. 

Sebagai informasi, Protokol Nagoya tentang Akses dan Pembagian Keuntungan access and benefit sharing (ABS) adalah perjanjian tambahan pada 2010, yang mulai berlaku pada 2014.

Protokol Nagoya ini merupakan perjanjian tambahan dari Konvensi Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD) pada 1992, yang salah satu tujuannya adalah pembagian manfaat yang adil dan merata dari pemanfaatan sumber daya genetik.

Belum ada pembagian manfaat

Menurut Alue, ada keuntungan besar hingga ratusan miliar yang diperoleh sejumlah kebun binatang di negara-negara lain. Kendati demikian, ia menyebut tidak ada manfaat yang dibagikan kepada Indonesia sebagai negara asal satwa endemik tersebut. 

"Padahal komitmen Nagoya Protocol harusnya di mana asal usul genetik itu berasal bisa menerima akses dan benefit sharing," ujarnya. 

Baca juga: Setelah 6 Tahun Dipenjara, Aktivis Konservasi Satwa Dibebaskan

"Ini masa depan kita yang harus kita cek, jadi jangan negara lain menikmati itu dengan enak, kita berjuang habis-habisan mencari anggaran untuk konservasi in situ kita," tambah Ale. 

Contohnya, Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) yang mengelola kawasan konservasi seluas hampir 27 juta hektare dan memerlukan anggaran yang besar untuk pengelolaannya.

"Memang sepertinya cost center, tetapi yang dijaga KSDEA ini menyediakan ekosistem biodiversitas servis yang dinikmati oleh semua sektor," pungkas Alue. 

Adapun sepanjang 2023, KLHK telah melakukan berbagai upaya penyelamatan satwa liar. Dengan total sebanyak 2.490 aksi, termasuk beberapa pemulangan atau repatriasi satwa endemik Indonesia yang berada di luar negeri.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
BRIN Fokus Riset Pengelolaan Sampah, Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi
Pemerintah
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Menteri LH Hanif Nilai Indonesia Belum Siap Hadapi Krisis Iklim, Sibuk Cari Cara Turunkan Emisi
Pemerintah
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 68 T, Celios Desak Moratorium Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Menteri LH Hanif Soal COP30, Negara Dunia Masih Berdebat dan Krisis Iklim Terabaikan
Pemerintah
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Ketika Alam Dirusak, Jangan Salahkan Alam
Pemerintah
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Perluasan Kota Ancam Akses Air Bersih pada 2050, Ini Studinya
Swasta
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Ratusan Ilmuwan Tandatangani Deklarasi Dartington, Desak Pemimpin Dunia Atasi Perubahan Iklim
Pemerintah
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
Tak Lepas dari Ancaman, Bahan Kimia Abadi Ditemukan di Hewan Laut
LSM/Figur
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Kemenhut Bantah Tudingan Bupati Tapsel soal Beri Izin Penebangan Hutan Sebelum Banjir
Pemerintah
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
SCG Pangkas Emisi lewat Semen Rendah Karbon dan Efisiensi Energi
Swasta
Banjir Sumatera Dipicu Deforestasi, Mayoritas Daerah Aliran Sungai Kritis
Banjir Sumatera Dipicu Deforestasi, Mayoritas Daerah Aliran Sungai Kritis
LSM/Figur
Industri Manufaktur Sumbang 17 Persen PDB, Kemenperin Kembangkan Industri Hijau
Industri Manufaktur Sumbang 17 Persen PDB, Kemenperin Kembangkan Industri Hijau
Pemerintah
UNDP: Kesenjangan Pembangunan Antarnegara Bisa Melebar akibat AI
UNDP: Kesenjangan Pembangunan Antarnegara Bisa Melebar akibat AI
Pemerintah
Banjir, Illegal Logging, dan Hak Publik atas Lingkungan yang Aman
Banjir, Illegal Logging, dan Hak Publik atas Lingkungan yang Aman
Pemerintah
Bencana Sumatera: Refleksi Kolektif untuk Taubat Ekologis
Bencana Sumatera: Refleksi Kolektif untuk Taubat Ekologis
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau