JAKARTA, KOMPAS.com - Proses pembangunan kawasan industri oleh PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) bersama Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG) di Desa Ambunu, Tondo, dan Topogaro di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, diwarnai beragam konflik agraria.
Perampasan lahan dilakukan dengan berbagai modus, salah satu prakteknya adalah modus salah gusur lahan.
Tak hanya itu, PT IHIP diduga tidak memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) serta izin lingkungan (Amdal).
Namun, saat ini telah terbangun tiga unit PLTU Captive berkapasitas 350 MW, Smelter, Stokpile ore, dan lain-lain.
"Dalam praktiknya, mendatangkan tindakan-tindakan kriminalisasi, intimidasi, dan konflik tenurial yang sampai saat ini juga tidak pernah selesai," ujar Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHI Nasional Uli Arta Siagian, dalam Konferensi pers "Upaya Kriminalisasi oleh PT IHIP dan Polda Sulteng pada Warga Bungku Barat" yang digelar secara hybrid di Jakarta, Jumat (28/6/2024).
Selain itu, konflik ini tentunya menyebabkan dampak lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat lokal di sana, sekaligus masyarakat Indonesia secara umum.
"Karena praktik nikel ini juga tidak hanya bisa dilihat dampaknya dalam konteks wilayah terdampak langsung, tetapi proses operasi dari nikel yang membongkar hutan, yang melepaskan emisi, justru akan berdampak secara luas bagi masyarakat di Indonesia," tutur Uli.
Baca juga: Transisi Energi di Morowali dan Beban Kerusakan Lingkungan
Sebagai informasi, PT IHIP adalah perusahaan Indonesia dengan latar belakang modal China.
Mereka membangun kawasan industri di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah, untuk produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida.
Sekitar 20.000 hektar rencana lahan diperlukan untuk membangun kawasan industri yang terletak di Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larebonu, dan Wosu.
Pembangunan kawasan ini disebut sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi yang diklaim di bawah “One Belt, One Road Inisiative”.
PT IHIP bersama PT BTIIG, membangun kawasan Industri dengan skema dua tahap yaitu tahap satu seluas 1.200 hektar di Desa Ambunu, Topogaro, dan Tondo serta tahap dua seluas 18.800 hektar lahan yang rencana akan dibebaskan.
Pada 20 Juni 2024 lalu, lima orang warga Desa Tondo dan Topogaro atas nama Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, Safaat, dan Sadam dilaporkan ke Polda Sulteng atas aksi mereka.
Sebelumnya, pada 11 Juni 2024, mereka melakukan blokade jalan tani di Desa Topogaro dan dusun Folili (Topograo), karena digunakan untuk jalan holing secara sepihak oleh PT IHIP/BTIIG.
Warga Ambunu, Rifiana MS yang hadir dalam konferensi pers, menjelaskan bahwa aksi protes tersebut dilakukan dengan membangun tenda di tengah jalan, bertujuan untuk menghentikan aktivitas produksi.
Blokade dimulai saat beredar video pernyataan Legal Eskternal PT IHIP atas nama Riski, menyampaikan bahwa jalan tani yang digunakan sebagai jalan holing adalah milik sah PT IHIP.
PT IHIP mengatakan hal itu berdasarkan MoU tukar guling aset dengan Bupati Morowali. Sebagai gantinya, PT IHIP mengerjakan perluasan bandara, yang ditandatangani 11 Maret 2024.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Berdampak Serius terhadap Masyarakat Maluku Utara
Padahal, jauh sebelum ada perusahaan nikel, jalan tani Topogaro dan Dusun Folili sudah digunakan menuju ke situs budaya Gua Topogaro, dan kebun seperti kopi, kakao, serta sawah.
Rifiani mengatakan, MoU itu diresmikan sepihak, tidak diketahui oleh masyarakat, tanpa pemberitahuan atau sosialisasi, hingga tiba-tiba jalan tani sudah menjadi jalan holing.
Akses masyarakat menuju kebun pun terganggu akibat aktivitas alat berat yang lalu-lalang setiap harinya.
"Mereka (masyarakat lokal) minta untuk direlokasi sesegera mungkin oleh pihak perusahaan, karena mereka sudah tidak lagi nyaman berada di sana. Kenapa tidak nyaman? Karena aktivitas kendaraan perusahaan lalu-lalang di dusun," papar Rifiana.
Berujung kriminalisasi
Tuntutan warga adalah meminta pihak Pemda/Bupati Morowali membatalkan MoU, dan agar PT IHIP memperlihatkan dokumen. Namun, hingga saat ini, PT IHIP enggan memperlihatkan dokumen MoU tersebut dan malah menyampaikan bahwa dokumen itu bersifat rahasia.
Tak menjawab tuntutan masyarakat, PT IHIP justru melakukan somasi. Somasi pertama dilakukan 11 Juni 2024 kepada empat orang yaitu Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, dan Safaat, sebelum menerima panggilan Polda Sulteng.
Somasi kedua, pada 23 Juni 2024 perihal “Tindakan Pemalangan yang Mengakibatkan Berhentinya aktivitas (Investasi) PT BTIIG”, diberikan kepada lima orang yaitu Moh Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana M.
Pada 22 Juni 2024, terjadi pertemuan antara pihak masyarakat, perusahaan, dan Forkopimda. Dalam pertemuan tersebut, pihak Pemda menyatakan MoU telah dibatalkan. Sementara pihak perusahaan tetap bersikeras bahwa MoU masih berlaku karena pembatalan tersebut bersifat sepihak.
Baca juga:
Menurut Eksekutif Daerah WALHI Sulteng Umang, dugaan upaya perampasan tanah yang dilakukan oleh PT IHIP sangat terselubung dan telah terjadi berulang kali sejak beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, pada 2020, PT IHIP juga diduga menimbun jalur irigasi untuk jalan holing, menyebabkan 170 hektare sawah milik 20 KK masyarakat tidak produktif, tinggal tersisa 10 hektare yang saat ini masih dikelola.
Beragam tindakan dilakukan oleh PT IHIP untuk mendapatkan lahan masyarakat, sementara pemerintah tidak pernah hadir dalam menyelesaikan konflik tersebut, justru terkesan melindungi dan menjamin kepentingan perusahaan.
Praktik buruk dalam melakukan konsolidasi tanah selama pembangunan kawasan industri PT IHIP di Bungku Barat, kata dia, mirip dengan penjajah yang semena-mena marampas dan memanipulasi hak masyarakat.
"Memang sudah jauh (hari) sebelumnya. Apalagi hadirnya PT IHIP di Morowali ini yang pertama dia tidak punya izin kawasan, kemudian dia juga tidak punya amdal, apalagi pelanggaran-pelanggaran yang dia lakukan, kalau kita kasar bilang itu modelnya penjajah sebenarnya," papar Umang.
Hingga saat ini, kata Umang, perwakilan dari Sulteng tengah memproses sejumlah tuntutan kepada pemerintah.
Di antaranya, untuk membatalkan MoU tukar guling asset jalan tani di Desa Topogaro dan Ambunu, menghentikan upaya kriminalisasi, memerika pemda, dan menghentikan praktek perampasan tanah terselubung di Morowali.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya