JAKARTA, KOMPAS.com – Social enterprise atau bisnis berdampak sosial, terutama di sektor lingkungan, masih menghadapi banyak tantangan di Indonesia. Salah satunya adalah stigma negatif terkait produk ramah lingkungan atau berkelanjutan (sustainable).
Menurut Co-Founder & Chief Sustainability Plana, Joshua C. Chandra, stigma menjadi salah satu penghambat utama yang harus dihadapi ketika memasarkan produk-produk berkelanjutan.
"Stigma terhadap barang-barang berkelanjutan biasanya adalah harganya mahal dan kualitasnya rendah. Ini tantangan utama saat kami mencoba masuk ke pasar. Banyak konsumen yang justru melihat kata ‘sustainable’ sebagai sesuatu yang negatif, bukan positif," ujar Joshua saat ditemui di DBS Foundation Bestari Festival di Jakarta, Sabtu (19/10/2024).
Baca juga: Budidaya Ikan Tidak Termasuk Bisnis yang Implementasikan Sustainability?
Selain stigma, kata dia, tantangan lain yang dihadapi adalah persaingan dengan produk konvensional.
Pasalnya, pasar Indonesia masih belum terlalu memiliki pola pikir yang sustainable-minded, meski industri produk berkelanjutan terus berkembang.
"Bisnis berkelanjutan harus bisa bersaing dengan produk konvensional yang sudah lebih kompetitif di pasar, baik dari segi harga maupun kualitas,” tambahnya.
Sebagai informasi, Plana merupakan usaha pembuatan material bangunan berbahan gabah padi dan sampah plastik daur ulang, yang telah berdiri sejak 2021.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Joshua menjelaskan, ada beberapa strategi yang dapat diadopsi oleh social enterprise.
"Kembali ke strategi dan market (pasar). Pasar bisa menerima produk sustainable kalau kita juga harus bersaing dari segi nilai teknis, seperti harga, kekuatan produk, dan tampilan yang menarik," paparnya.
Baca juga: Sustainability Jadi Perhatian Pelaku Usaha Furnitur Indonesia
Ia mencontohkan, produknya di sektor konstruksi yang memiliki desain menyerupai kayu, memiliki harga murah namun kualitas terjamin dengan sejumlah portofolio yang dimiliki. Hal ini dinilai sebagai nilai tambah di mata konsumen.
“Kami juga harus mampu mematahkan stigma dengan menawarkan produk yang lebih murah namun berkualitas lebih baik. Padahal barang ini sustainable," terang Joshua.
Oleh karena itu, menurutnya, social enterprise di sektor lingkungan terus berupaya mengatasi berbagai tantangan dengan mengedepankan inovasi dan edukasi. Serta, membangun kepercayaan publik untuk mendorong perubahan yang lebih baik di masa depan.
"Kepercayaan itu merupakan hal yang sulit, nggak usah bisnis sehari-hari juga ya, untuk bisa dapetin trust orang itu sesuatu yang challenging. Apalagi kami yang lagi bergerak di bidang ini dengan menawarkan sampah," tutur dia.
Baca juga: Anak Muda Perlu Dilibatkan dalam Diskusi Isu Keberlanjutan
"Tapi yang harus kita utamakan adalah keep going, jangan pernah menyerah dan selalu jadi 'cheerleader' nomor satu atau orang yang paling percaya dengan bisnis kita. That's why kita bisa menularkan kepercayaan itu, kepedean kita, dan juga passion ke orang-orang yang melihat bisnis, produk, maupun solusi kita," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya