EUFORIA pemerintahan baru masih terasa sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, pada Minggu (20/10).
Sejumlah keyakinan disampaikan oleh Prabowo dalam pidato perdananya di depan wakil rakyat dan disaksikan rakyat Indonesia melalui platform audio visual.
Salah satu yang menarik mengenai pernyataan Prabowo terkait swasembada energi, tentang bangganya dengan kekayaan batu bara di negeri ini.
Sejumlah industri masih sangat bergantung pada batu bara, sumber energi yang justru bertentangan dengan semangat keberlanjutan.
Contohnya industri nikel di Indonesia, saat ini berada di persimpangan jalan dalam upaya transisi energi, karena masih sangat bergantung pada batu bara.
Hingga saat ini, mayoritas industri nikel di Indonesia, termasuk fasilitas smelter yang digunakannya untuk memurnikan bijih nikel, masih mengandalkan PLTU yang energinya berasal dari batu bara.
Proses hilirisasi menjadi paradoks besar, karena industri yang seharusnya mendukung perkembangan energi bersih justru berkontribusi pada emisi karbon yang tinggi.
Berdasarkan perhitungan tim peneliti Greenpeace, emisi dari PLTU yang telah beroperasi diperkirakan akan menghasilkan 5.260 kematian dini dan 1.690 berat lahir rendah per tahun akibat terpapar polutan berbahaya.
Nitrogen Dioksida, Sulfur Dioksida, Merkuri, Timbal, Arsenik, Kadmium dan PM2.5, semua polutan yang berasal dari PLTU ini memicu peningkatan prevalensi penyakit jantung, paru-paru, dan masalah pernapasan pada anak-anak dan kelompok sensitif lainnya.
Sehingga hal ini sangat berdampak terutama bagi kesehatan masyarakat di sekitar lokasi smelter.
Kondisi ini diakui oleh Menteri ESDM, Bahlil Dahalia, dalam sidang Doktornya di Universitas Indonesia pada 16 Oktober 2024 lalu.
Dari temuan risetnya, Bahlil menemukan hilirisasi nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dan Weda Bay Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, meskipun memberi peningkatan penerimaan negara, tapi berdampak buruk pada kesehatan terutama ISPA yang melonjak pada masyarakat sekitar hingga menyebabkan tingkat kematian yang cukup tinggi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Masyarakat tentu tidak diam. Sejumlah gerakan masyarakat muncul menyuarakan penderitaan yang mereka rasakan.
Salah satunya koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, yang terdiri dari 20 organisasi masyarakat di Sulawesi dan Jakarta.
Pada 1 Oktober 2024, sejumlah perwakilannya datang ke Kementerian ESDM di Jakarta, dengan tujuan Presiden melalui Kementerian ESDM-nya dapat merevisi Pasal 3 ayat (4) huruf b Perpres 112/2022 tentang pembangunan PLTU dalam percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan energi Listrik.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya