KOMPAS.com - Jumlah produksi listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil di China meningkat 1,5 persen pada 2024.
Menurut data Biro Statistik China, mayoritas penambahan produksi listrik itu berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Sisanya yakni pembangkit listrik tenaga gas alam yang berkontribusi cukup sedikit, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (16/1/2025).
Baca juga: Kapasitas PLTU Captive RI Diprediksi Salip Pembangkit Batu Bara Australia
Menurut biro tersebut, produksi listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil di China sepanjang 2024 mencapai 6,34 triliun kilowatt-jam (kWh).
Data terbaru tersebut melemahkan ekspektasi sebelumnya bahwa PLTU batu bara di China sedang mencapai puncaknya.
Pasalnya, emisi di sektor ketenagalistrikan di China dianggap penting untuk dekarbonisasi "Negeri Panda".
Data tersebut menyoroti tantangan lanjutan dalam menyetop PLTU batu bara untuk menyuplai kebutuhan energi listrik di China yang terus meningkat untuk kebutuhan industri dan perekonomian.
Baca juga: PLN IP Manfaatkan Limbah Uang Kertas BI untuk Campuran PLTU Batu Bara
Direktur Tenaga Listrik dan Energi Terbarukan China S&P Global Commodity Insights Peng Chengyao mengatakan, data terbaru itu lebih tinggi dari perkiraan lembaga konsultan tersebut pada awal tahun ini.
Dia menuturkan, permintaan energi listrik ternyata lebih tinggi daripada perkiraan.
Pertumbuhan produksi listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil di China juga tak lepas dari pengaruh pembangkitan setrum dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Meski jumlah PLTA dan produksi listriknya meningkat dari tahun ke tahun, suplai dari energi terbarukan tersebut belum bisa mengimbangi permintaan energi listrik.
Apalagi, produksi listrik dari PLTA di China pada 2024 sempat menurun untuk beberapa waktu karena kekeringan.
Baca juga: PLTU Lontar Manfaatkan Sampah Biomassa Jadi Bahan Bakar
"Sekitar bulan September, tenaga air mengalami penurunan yang sangat tajam. Itu hanya sedikit lebih baik daripada kondisi kekeringan parah tahun sebelumnya," kata David Fishman dari lembaga konsultan Lantau Group.
Dengan kondisi gelombang panas yang meningkatkan konsumsi listrik untuk pendingin ruangan, Fishman menyoroti pembangkit energi terbarukan tak cukup memenuhi lonjakan permintaan tersebut.
Berdasarkan data Biro Statistik China, permintaan listrik di "Negeri Panda" secara keseluruhan naik 4,6 persen pada 2024.
Untuk tahun 2025, analis Greenpeace mengatakan, energi terbarukan dapat memenuhi semua pertumbuhan permintaan listrik di China.
Pemimpin proyek Greenpeace Asia Timur yang berkantor pusat di Beijing, Gao Yuhe, menuturkan, hal itu akan membuka jalan bagi sektor listrik China untuk mencapai puncak emisi pada tahun 2025.
Baca juga: Pemensiunan PLTU Batu Bara Sejak 2024 Bisa Cegah 182.000 Kematian akibat Polusi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya