KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, para pembeli sertifikat karbon atau carbon credit dari luar negeri cenderung memilih kredit yang berkualitas.
Hal tersebut disampaikan Fabby mengomentari rencana pelaksanaan penjualan karbon ke luar negeri oleh pemerintah melalui Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon mulai 20 Januari 2025 atau Senin (20/1/2025).
Berdasarkan data Sistem Registri Nasional (SRN) proyek-proyek yang melantai di bursa karbon berasal dari sektor energi. Sebagian berasal dari energi fosil.
Baca juga: Shell dan Microsoft Masuk 10 Pembeli Kredit Karbon Terbesar 2024
Salah satu contoh sertifikat karbon dari energi fosil yakni pembangunan Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Gas Bumi PLTGU Blok 3 PJB Muara Karang.
Selain itu, awal tahun ini ada penambahan penambahan tiga proyek sertifikat karbon, salah satunya unit karbon dari PLTGU Priok Blok 4.
Proyek lainnya yakni konversi pembangkit single cycle menjadi combined cycle (add-on) PLTGU Grati Blok 2.
Kemudian ada konversi pembangkit single cycle menjadi combined cycle Blok 2 PLTGU Muara Tawar.
Baca juga: Google Beli 100.000 Sertifikat Karbon dari Proyek Biochar di India
Selain itu, ada berbagai sertifikat karbon dari pembangkit energi terbarukan seperti panas bumi dan hidro.
Fabby mempertanyakan mengapa ada sertifikat karbon dari pembangkit fosil. Menurutnya, sertifkat karbon dari pembangkit fosil sulit untuk dilirik pembeli.
"Jadi yang harus diingat bahwa di (komuntas) internasional, itu (sertifikat) karbon kualitas tinggi yang dicari," ujar Fabby saat dihubungi Kompas.com, Jumat (17/1/2025).
Fabby menuturkan, sertifikat karbon berkualitas tinggi tersebut biasanya berasal dari sektor kehutanan. Penilaian kualitas karbon dari sektor kehutanan pun memiliki standar tinggi oleh lembaga yang terakreditasi tinggi.
"Dan banyak perusahaan-perusahaan yang selama ini melakukan penurunan emisi gas rumah kaca enggak sepenuhnya beli melalui bursa. Tapi mereka mempunyai kontrak jangka panjang," tutur Fabby.
Baca juga: Perdagangan Karbon Internasional di RI Sempat Terkendala Peraturan Ini
Di samping itu, menurutnya penjualan kredit karbon di dalam negeri dinilai kurang optimal.
Dilansir dari Antara, Rabu (15/1/2025), volume perdagangan mencapai 1,040 juta ton karbon dioksida ekuivalen dengan transaksi Rp 55,237 miliar sejak diluncurkan pada September 2023.
Alih-alih menggunakan menjual sertifikat karbon ke luar negeri, Fabby menyarankan agar pemerintah dan pihak bursa melakukan evaluasi terlebih dulu.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya