Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebocoran CCS Berisiko Perparah Perubahan Iklim, Bagaimana Mitigasinya?

Kompas.com - 21/01/2025, 14:12 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

BOGOR, KOMPAS.com - Kebocoran karbon dioksida (CO2) pada teknologi carbon, capture, and storage (CCS) berpotensi memperparah perubahan iklim.

Meski begitu, risiko teknologi ini bocor dinilai rendah lantaran kedalamannya mencapai ribuan meter dengan ketebalan sekitar 300 meter di bawah tanah.

“Jadi, bocor itu bukan berarti akan menimbulkan bahaya, karena CO2 sebenarnya kalau konsentrasinya tidak besar-besar amat enggak apa-apa,” kata Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Mohammad Rachmat Sule dalam pelatihan jurnalis yang digelar Indonesia Business Post di Bogor, Minggu (19/1/2025).

Baca juga: Kemenhut Siapkan Skema untuk Genjot Perdagangan Karbon

“Di sini juga CO2 banyak, dia akan berpengaruh pada climate change, global warming, dan usaha kita sia-sia,” tambah dia.

Rachmat mengungkapkan, pekerjaan rumah yang juga harus dilakukan sebelum membangun fasilitas CCS ialah mencermati pencemaran CO2 terhadap air tanah. Sebab, apabila terjadi kebocoran maka air tanah akan tercemar gas tersebut.

“Kalau kita menemukan bahwa di lapisan air tanah kita ternyata CO2-nya makin lama makin bertambah, berarti itu indikasi bahwa terjadi kebocoran,” jelas Rachmat.

Oleh karenanya, dia menyebutkan monitoring penting dilakukan sebelum hingga setelah injeksi CO2 dilakukan.

Rachmat menyampaikan, ada sejumlah alat yang dipasang di sekitar lokasi injeksi CO2 guna mendeteksi kebocoran. Menurutnya, saat ini berbagai teknologi yang berkembang sudah bisa digunakan untuk menekan pembiayaan monitoring CCS.

"Mitigasinya, pertama kita melihat tentang storage capacity, kemudian caprock stability-nya, geomekaniknya seperti apa, semua harus dilakukan studinya menggunakan data yang sudah ada kalau kita menginjeksikannya di dalam depleted oil and gas reservoir,” ujar Rachmat.

Baca juga: Indonesia Resmi Jual Karbon untuk Asing, Bagaimana Situasi Internasional?

Untuk diketahui, implementasi teknologi tersebut merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon serta Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang CCS di industri hulu migas sebagai landasan hukum.

Sementara itu, Senior Policy Analist Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bobby Permanahadi menyatakan hingga saat ini CCS masih dalam tahap studi di Indonesia.

“(Alasannya) karena diperlukan kepastian keekonomian dan emitter sebelum dilaksanakan pembangunan. Untuk itu, sekarang sedang digiatkan rencana kerja sama CCS dengan negara emitter seperti Singapura, Jepang, dan Korea,” papar Bobby.

Adapun perusahaan yang paling progresif pada pengembangan CCS saat ini antara lain Pertamina, Exxon Mobile, dan BP Tangguh.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau