Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DMSI Desak Pemerintah Batasi Ekspor Jelantah dan Limbah Sawit

Kompas.com - 21/01/2025, 10:01 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

Sumber Antara

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta pemerintah membatasi ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), hingga minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).

Plt Ketua DMSI Sahat Sinaga mengatakan ke depan, bahan-bahan tersebut makin dibutuhkan untuk bahan bakar berkelanjutan seperti sustainable aviation fuel (SAF).

"Kebijakan pembatasan tersebut memperkuat upaya hilirisasi yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto," katanya sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (22/1/2025).

Baca juga: Pertamina Siap Beli Jelantah dari Masyarakat Rp 6.000 Per Liter, Tertarik?

Dia menjelaskan bahwa sejak Agustus 2011, Indonesia telah mencanangkan pola pengembangan sawit ke arah hilirisasi, yaitu mengarah agar produk-eksport sawit yang diekspor punya "nilai tambah yang tinggi".

Pola hilirisasi ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.011/2011. Yaitu Produk Hulu dikenai Bea Keluar yang tinggi, dan Produk Hilir dikenai BK yang rendah.

Sementara itu pembatasan ekspor minyak sawit Kelompok II dalam Tabel Peraturan Menteri Keuangan ( PMK), yaitu POME, Residu (Empty Fruits Bunch Oil dan HAPO ) dan UCO (minyak jelantah) lantaran untuk menjamin ketersediaan minyak sawit ini memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.

Menurut Sahat pada 2010 komposisi ekspor Indonesia produk hulu berupa CPO dan CPKO berkisar 70 persen volume. Selebihnya 30 persen berupa produk hilir, yaitu RBD Oils, dan lainnya berupa Margarine, Shortening dan Sabun.

Sebagaimana diketahui, Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) atau Badan Dunia yang mengatur bahan baku yang diperkenankan untuk membuat bahan bakar kapal terbang (Aviation Fuel), menyatakan bahwa sustainable aviation fuel (SAF) tidak boleh menggunakan bahan baku yang berasal dari daerah tertentu.

Baca juga: Pemerintah Bakal Kembangkan Bahan Bakar Nabati untuk Penerbangan

Bahan baku yang dimaksud misalnya berasal dari areal penebangan hutan primer, daerah rawa-rawa , dan lainnya, di mana lahan penghasil feedstock SAF itu berasal dari daerah yang ditanam sebelum 31 Desember 2008.

Feed-stock lainnya yang dapat dipergunakan sebagai feedstock pembuatan SAF, sesuai dengan tabel yang dikeluarkan oleh CORSIA adalah semua jenis produk yang ada di Kelompok II- PMK

Pada 2026, lanjutnya akan ada regulasi penerbangan bahwa SAF harus ada dalam bahan bakar pesawat terbang dengan ratio SAF-5 persen.

"Kalau tidak maka penerbangan itu akan didenda besar. Sebesar GHG emisi yang dikeluarkannya, artinya semakin jauh jarak penerbangannya semakin besar denda yang akan dikenakan oleh badan dunia International Civil Aviation Organization (ICAO),” jelasnya.

Dalam konteks ini, menurut Sahat, Indonesia berkepentingan untuk menghasilkan SAF, saat ini yang paling potensial dipakai sebagai bahan bakar SAF itu adalah material yang ada dibatasi ekspornya tersebut yakni POME, UCO dan HAPOR.

Oleh karena itu, Sahat meminta BUMN segera membuat SAF sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo untuk membangun swasembada pangan dan energi berbasis sawit.

Baca juga: Booming Belanja Daring Bikin Emisi Penerbangan Meroket 25 Persen

Dikatakannya, DMSI juga mendukung penuh dengan peraturan baru Permendag no 2/2025 tentang "Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit" di mana produk-produk sawit di Kelompok II tersebut akan diperketat, dan ini sejalan dengan kebijakan hilirisasi dan antisipasi kebutuhan produk-produk yang dimaksud untuk menghasilkan SAF di dalam negeri.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau