Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Indonesia Jangan Muram, Kejar Ketertinggalan lewat Riset Biodiversitas

Kompas.com, 11 Februari 2025, 09:34 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Wawan Sujarwo*

KOMPAS.com - Indonesia sudah mengalami ketertinggalan dalam riset dan inovasi di hampir semua bidang. Mulai dari industri elektronika, kesehatan, kosmetika, komputer, manufaktur, transportasi, hingga kecerdasaran buatan (AI), kita jauh di belakang Eropa dan Amerika, bahkan negara-negara Asia Timur.

Ketertinggalan ini membuat kita lebih banyak menjadi penonton dan konsumen produk-produk yang dihasilkan oleh negara-negara tersebut.

Namun, janganlah kita muram. Indonesia sebenarnya masih memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalan—bahkan menyalip negara-negara tersebut dengan riset biodiversitas darat dan laut. Sayangnya, selama ini kita sibuk melirik rumput tetangga yang lebih hijau dan lupa melihat potensi besar di tanah air.

Sebagai negara tropis, Indonesia diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Namun selama ini kita hanya sibuk mengekstraksi sumber daya alam tersebut dan kurang memanfaatkannya untuk pengembangan inovasi berbasis riset. Inovasi dapat berujung pada penghiliran (peningkatan nilai tambah) produk.

Dengan luas daratan mencapai 1,9 juta km persegi, banyak sekali ragam tanaman yang bisa tumbuh di tanah tropis bernama Indonesia ini. Belum lagi, keanekaragaman yang ada di lautan seluas lebih dari 3 juta km persegi. Dalam artikel ini, sesuai bidang yang saya kuasai, saya akan mengulas khusus kekayaan tumbuhan yang ada di daratan.

Kekayaan alam Indonesia

Menurut data POWO (The Plants of the World Online), ada hampir 400 ribu jenis tumbuhan berpembuluh di dunia. Sekitar 369 ribu di antaranya merupakan tumbuhan berbunga.

Dari jumlah tersebut, diperkirakan ada sekitar 30 ribu jenis tanaman tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Baca juga: Restorasi Lahan Mangrove dan Gambut Dinilai Jadi Solusi Iklim yang Minim “Budget”

Keberadaan tumbuhan berbunga sangat vital bagi kelangsungan hidup di Bumi. Selain berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, mereka juga merupakan sumber pangan, obat, dan bahan baku industri.

Potensi biodiversitas luar biasa ini seharusnya ‘memprovokasi’ para ilmuwan, akademisi, pelaku bisnis, dan komunitas untuk menghasilkan produk-produk inovasi yang bisa diterima di pasar global.

Untuk tanaman pangan, misalnya, saya bersama rekan-rekan peneliti mengkaji beberapa tanaman pangan utama dunia seperti beras dan juga tanaman pangan lokal seperti talas dan ubi jalar. Penelitian dilakukan di tiga provinsi yang terkenal dengan keragaman tanaman yang tinggi: Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Maluku. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keragaman tanaman pangan (agrobiodiversitas) yang sangat kaya.

Banyak pula spesies unik yang belum teridentifikasi. Saat ini misalnya, terdapat 10.092 sampel genetik padi yang dikumpulkan dan disimpan dalam bank gen atau koleksi plasma nutfah. Sampel ini dikelola oleh Kementerian Pertanian dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), termasuk 54 varietas beras merah yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia.

Temuan kami di lapangan juga mengidentidikasi 91 etnovariat padi (varietas padi lokal yang dikembangkan oleh masyarakat tradisional). Kebanyakan di antaranya berasal dari Kalimantan Tengah (72) dan Jawa Tengah (15).

Pada 2010, ditemukan 200 jenis talas di daerah Cibinong, Bogor. Pada 2014, sebuah misi pengumpulan atau penelitian di Jawa Tengah juga menemukan 28 jenis talas. Namun, penemuan ini baru mewakili sekitar 60 persen dari total keragaman talas di wilayah tersebut. Artinya, masih ada banyak jenis talas lain yang belum ditemukan atau terdokumentasi dalam misi tersebut.

Keragaman etnobotani

Selain keragaman tumbuhan, Indonesia juga memiliki etnik dan budaya yang kaya. Interaksi antara komunitas masyarakat lokal dengan tumbuhan, dikenal sebagai etnobotani.

Baca juga: Gambut dan Mangrove Bisa Pangkas 770 Megaton Emisi CO2 di Asia Tenggara

Dengan etnobotani kita bisa memahami kegunaan tumbuhan secara empiris yang telah dipraktikkan oleh masyarakat lokal sejak berpuluh atau bahkan ratusan tahun. Contoh paling terkenal adalah jamu, yang telah diakui sebagai ‘warisan budaya tak benda’ oleh UNESCO pada 2023. Ini membuktikan bahwa interaksi budaya lokal dengan sumber daya tumbuhan Indonesia sudah diakui dunia akan eksistensi dan kegunaannya.

Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) Kementerian Kesehatan sudah mendokumentasikan ribuan jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh berbagai etnik, dari Sumatra hingga Papua. Namun, jika melihat data Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu), baru sekitar ratusan jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan jamu.

Riset dan pengembangan RISTOJA sejatinya bisa diperluas lagi dengan menyasar masyarakat yang tinggal di pedalaman pulau-pulau kecil dan terluar. Mereka pun memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga.

Kita bisa membayangkan bagaimana mereka mampu bertahan dengan akses layanan kesehatan yang minim dan mengandalkan resep warisan leluhur secara turun-temurun—yang dulunya telah melalui proses trial and error. Beberapa di antaranya telah terbukti bermanfaat dan berkhasiat. Semua kearifan lokal ini harus bisa kita manfaatkan.

Di negara-negara Asia Timur, rumah sakit herbal memiliki tingkat okupansi lebih dari 70 persen. Meskipun biaya pengobatannya sebenarnya lebih mahal dari rumah sakit modern, tapi pengobatan herbal lebih digemari dan dipercaya oleh masyarakat.

Di Indonesia, klinik herbal Hortus Medicus di Tawangmangu sudah menunjukkan potensi besar dalam memberikan pengobatan berbahan alam. Ini bisa menjadi pemicu untuk memperluas riset, pengembangan produk, hingga implementasi dalam bentuk klinik atau rumah sakit berbasis herbal.

Di Maluku, kita mengenal ‘Herbarium Amboinense’, buku catatan yang berisi sekitar 1.200 jenis tanaman obat lokal yang didokumentasikan oleh ahli botani kelahiran Jerman Georgius Everhardus pada abad ke-17. Di Jawa ada dokumentasi pengetahuan lokal serupa dalam Serat Centhini, di Pulau Dewata ada Usada Bali dan masih banyak lagi pengetahuan lokal yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pengetahuan lokal Indonesia ini tidak kalah pentingnya dengan temuan luar negeri, seperti penemuan obat malaria Artemisia oleh perempuan ilmuwan Cina, Tu Youyou yang meraih Nobel Kesehatan pada 2015.

Contoh senyawa obat lain yang ditemukan melalui pengetahuan tradisional antara lain aspirin (obat pengencer darah dari Filipendula ulmaria), digoxin (obat jantung dari Digitalis purpurea), morphine (penghilang nyeri dari Papaver somniferum), quinine (obat malaria dari Cinchona pubescens), dan masih banyak lagi. Semua ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal kita berpotensi menghasilkan inovasi besar di masa depan.

Sudah saatnya Indonesia serius menggarap potensi dan kekayaan alam ini. Dengan fokus pada sektor yang kita miliki, yakni keanekaragaman tumbuhan, kita bisa menciptakan produk-produk inovatif yang berbasis riset dan berpotensi menjadi pemasok utama kebutuhan pasar global.

Mengembangkan riset dan inovasi tentu tidak seperti cerita Candi Prambanan yang katanya dibangun hanya dalam waktu semalam. Kita butuh konsistensi dan napas yang panjang.

Jika fokus mengelola keanekaragaman hayati, dengan dukungan sumber daya manusia unggul, infrastruktur riset memadai, pendanaan yang cukup, serta konsistensi kebijakan yang berpihak pada riset, maka saya hakulyakin kita bisa menciptakan inovasi yang mampu mengubah masa depan Indonesia.

Baca juga: Bagaimana Keanekaragaman Hayati Pengaruhi Kehidupan Manusia?

* Profesor Riset Badan Riset dan Indovasi Nasional (BRIN)

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
IPB Latih Relawan dan Akademisi di Aceh Produksi Nasi Steril Siap Makan
IPB Latih Relawan dan Akademisi di Aceh Produksi Nasi Steril Siap Makan
Pemerintah
Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah
Bencana Hidrometeorologi Meningkat, Sistem Transportasi dan Logistik Dinilai Perlu Berubah
LSM/Figur
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
SMBC Indonesia Tanam 1.971 Pohon melalui Program BerDaya untuk Bumi di Garut
Swasta
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Tempat Penyimpanan Karbon Dioksida Pertama di Dunia Bakal Beroperasi di Denmark
Swasta
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
LSM/Figur
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
LSM/Figur
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
LSM/Figur
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Pemerintah
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau