Oleh Antoni Putra*
KOMPAS.com - Awal Januari lalu, guru besar bidang kehutanan IPB University, Bambang Hero Saharjo dipolisikan oleh kelompok Persaudaraan Pemuda Tempatan (Perpat) Kepulauan Bangka Belitung pada 8 Januari 2024. Alasannya, terkait perhitungan Bambang soal kerugian lingkungan akibat tambang ilegal di PT Timah sebesar Rp271 triliun. Bambang dituduh tidak kredibel karena bukan ahli keuangan.
Kasus yang menimpa Bambang menegaskan maraknya fenomena kriminalisasi terhadap akademisi yang menyumbangkan pemikirannya untuk penegakan hukum. Bambang sempat menghadapi pengaduan serupa pada 2018 akibat kesaksiannya dalam kasus kebakaran hutan di Rokan Hilir.
Tidak hanya Bambang Hero, akademisi lain seperti Basuki Wasis juga mengalami kriminalisasi. Basuki digugat sebesar Rp3 triliun oleh mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, setelah memberikan keterangan ahli dalam kasus korupsi izin usaha pertambangan.
Pelaporan Bambang tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas kejahatan lingkungan yang sistemik. Korupsi dalam sektor sumber daya alam sering kali memiliki pola kejahatan terorganisasi—melibatkan berbagai pihak dengan peran masing-masing. Selain kelompok yang secara aktif melakukan perusakan lingkungan, ada pihak yang melindungi kejahatan tersebut, dan ada juga segelintir masyarakat yang menikmati hasilnya.
Dalam konteks ini, akademisi yang memberikan kesaksian berdasarkan ilmu pengetahuan dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan kejahatan lingkungan. Oleh karena itu, mereka menjadi target kriminalisasi untuk membungkam suara kritis dan melumpuhkan penegakan hukum lingkungan.
Kriminalisasi terhadap ahli merupakan salah satu modus intervensi dan manipulasi penegakan hukum, melemahkan penegakan hukum lingkungan, memungkinkan eksploitasi sumber daya alam tanpa hambatan, dan menghilangkan tanggung jawab lingkungan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Dampak buruk kriminalisasi ahli lingkungan
Kriminalisasi akademisi bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga ancaman bagi kebebasan akademik dan integritas ilmu pengetahuan di Indonesia, serta efektivitas penegakan hukum.
Baca juga: Petani Kecil Berperan Penting dalam Industri Kelapa Sawit, Perlu Distribusi Keuntungan yang Merata
Dari sisi kebebasan akademik, ancaman hukum terhadap akademisi menciptakan efek ketakutan yang membuat banyak ilmuwan enggan melakukan penelitian atau mengungkapkan fakta temuan secara terbuka. Akibatnya, pengembangan ilmu pengetahuan di bidang lingkungan hidup nasional bisa jalan di tempat karena minimnya kebebasan melakukan penelitian yang obyektif.
Tren kriminalisasi terbukti menjadi salah satu alasan jebloknya skor kebebasan akademik Indonesia—terutama terkait ekspresi akademik dan budaya terus menurun. Tren tersebut telah berlangsung sejak 2015 dan tidak ada sedikit pun perbaikan peringkat hingga 2023.
Fenomena ini juga marak terjadi di seluruh dunia. Selain ancaman hukum, tak sedikit ahli lingkungan juga menghadapi pelecehan hingga ancaman yang membahayakan nyawa.
Di Amerika Latin, maraknya eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan menjadi biang keladi atas serangan tersebut. Eksploitasi alam juga membuat kawasan ini menjadi region paling memakan korban di seluruh dunia, terutama dari para pembela lingkungan.
Situasi ini patut menjadi alarm bagi dunia akademik Indonesia. Sebab, Presiden Prabowo Subianto menginginkan pencapaian swasembada energi, air, dan pangan yang berisiko membahayakan 20 juta ha kawasan hutan. Apalagi skor otonomi kelembagaan dan integritas kampus yang menjadi naungan para ahli juga turut melemah.
Dari sisi penegakan hukum, kriminalisasi para ahli bisa membungkam mereka yang berani mengungkap kerusakan lingkungan akibat aktivitas ilegal. Jika para akademisi enggan memberikan kesaksian, maka penegakan hukum terhadap korupsi lingkungan akan semakin melemah. Padahal, banyak kasus korupsi lingkungan yang bergantung pada pendapat ahli untuk membuktikan dampaknya terhadap negara.
Regulasi Jaminan Perlindungan Ahli
Akademisi yang memberikan kesaksian dalam penegakan hukum seharusnya terlindungi secara hukum. Secara teori, saksi di pengadilan atas dasar keahliannya tidak dapat diperkarakan secara pidana maupun perdata.
Hakim pun tidak diharuskan untuk menjadikan keterangan atau alat bukti yang diberikan seorang ahli serta merta sebagai jawaban perkara, kecuali ia meyakini keterangan sang pakar merupakan sebuah kebenaran. Pendapat ahli hanyalah salah satu alat bukti yang dapat dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Regulasi sebenarnya sudah memberikan perlindungan bagi akademisi yang berperan dalam penegakan hukum lingkungan. Terbaru, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10 Tahun 2024 menegaskan bahwa siapa pun yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara hukum.
Selain itu, sebagai insan akademik, ahli juga dijamin kebebasannya oleh Pasal 8 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi. Kebebasan akademik merupakan fondasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang seharusnya dihormati oleh negara dan masyarakat.
Namun, meskipun regulasi telah mengatur perlindungan tersebut, praktik kriminalisasi tetap terjadi.
Negara harus bertindak
Negara harus mengambil langkah tegas untuk melindungi akademisi dan memastikan ilmu pengetahuan tetap menjadi fondasi dalam kebijakan serta penegakan hukum. Jika tidak, pemberantasan korupsi di sektor lingkungan hidup akan mengalami kemunduran yang sulit diperbaiki.
Dampaknya tidak hanya dirasakan dalam aspek hukum, tetapi juga akan mempercepat degradasi lingkungan, memperburuk krisis ekologis, dan meningkatkan dampak perubahan iklim di Indonesia.
Prabowo telah berulang kali menegaskan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Namun, komitmen ini—tanpa adanya perlindungan kebebasan akademis—tidak akan banyak berarti.
Baca juga: Kelapa Sawit Kontroversial dan Politis, Bagaimana AI Menarasikannya?
*Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya