KOMPAS.com - Indonesia dan Jerman berkolaborasi dalam riset terkait industri tekstil yang berkelanjutan melalui program proyek BMBF EnaTex.
Akademisi dari Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Juliana Murniati mengatakan, riset tersebut merupakan kolaborasi lintas sektor antara industri dan perguruan tinggi.
Dia menjelaskan, mitra Indonesia dan Jerman dalam proyek BMBF EnaTex mengembangkan pendekatan baru dan mengoptimalkan proses dalam industri yang berkelanjutan.
Baca juga: DHL Angkut Kargo dengan Manfaatkan Avtur Berkelanjutan
Dengan menerapkan praktik berkelanjutan, industri bisa penghematan hingga 40 persen melalui berbagai tindakan seperti persiapan penyempurnaan, pewarnaan, dan penyelesaian akhir.
Murni berujar, banyak negara kini menerapkan tarif tinggi untuk bahan bakar fosil sebagai respons terhadap isu perubahan iklim.
"Di Eropa, produk berbasis bahan bakar fosil dikenakan biaya lebih mahal, sementara industri tekstil global mulai menuntut rantai pasokan yang bebas karbon. Oleh karena itu, industri tekstil dan garmen di Indonesia perlu bersiap mengadopsi regulasi seperti European Green Deal," jelas Murni, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (12/2/2025).
Murni menambahkan, selama empat tahun, proyek EnaTex mengkaji peluang yang tersedia bagi perusahaan industri tekstil Indonesia untuk menghemat energi fosil, sehingga dapat terus bertahan di pasar global.
Baca juga: Perbaikan Danau Lido, Menteri LH Pastikan Pengelolaan Berkelanjutan
EnaTex didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman dengan dua perguruan tinggi di Indonesia yang menjadi anggota konsorsium ini, yakni Unika Atma Jaya di Jakarta dan Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) di Bandung.
Di dalam proyek tersebut juga terdapat mitra industri yakni SriTex dan Harapan Kurnia.
Sementara itu, konsorsium Jerman terdiri dari lembaga penelitian IZES, University of Applied Sciences, Niederrhein, perusahaan Bruckner Trockentechnik GmbH & Co KG, dan Sunfarming.
Dosen Politeknik STTT Bandung Mohammad Widodo menyampaikan, proyek riset itu mampu menentukan pengukuran jangka pendek, menengah, dan panjang untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil.
Baca juga: Transisi Energi: 3 Rekomendasi untuk Hilirisasi Nikel Berkelanjutan
Misalnya, bahan kimia fungsional dapat diaplikasikan dengan bantuan aplikasi minimal pada satu sisi dan dengan cairan sesedikit mungkin. Hal itu dapat secara drastis mengurangi proses pengeringan selanjutnya dan menghasilkan penghematan energi hingga 40 persen.
Selain itu, penerapan minimal juga berarti menggunakan sistem pewarna untuk mewarnai selulosa yang memiliki tingkat fiksasi jauh lebih tinggi.
Hal itu memungkinkan konsentrasi rendaman pewarna serta jumlah dan suhu rendaman pembilas jauh lebih rendah, serta dapat menghemat sejumlah besar energi. Terutama untuk warna gelap, hingga 25 persen emisi karbon dioksida per kilogram tekstil.
Selain itu, penghematan energi hingga tujuh persen dapat dicapai melalui pembakaran yang optimal.
Selain itu, penghematan juga bisa didapatkan dengan memanfaatkan kembali panas dari udara pembakaran untuk memanaskan air untuk pembangkitan uap atau udara pembakaran.
Baca juga: Ilmuwan Kembangkan Semen Berkelanjutan, Seperti Apa?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya