JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Pakar Green Building Council Indonesia (GBCI), Iwan Prijanto, mengatakan bahwa green property menjadi salah satu solusi untuk mengatasi perubahan iklim.
Jenis bangunan dan kawasannya mengadopsi konsep hijau, dibuktikan dengan sertifikasi dari World Green Building Council.
"(Green property) dibutuhkan, jelas itu sudah tuntutan hari ini dan masa depan. Jadi enggak mungkin para pemain properti dunia bisa mengabaikan upaya-upaya mitigasi terhadap perubahan iklim," ujar Iwan saat dihubungi, Rabu (5/3/2025).
Baca juga: RI Dapat Pinjaman 53 Juta Dollar AS untuk Dekarbonisasi Sektor Properti-Ritel
Dia menyebut, konsep bangunan ramah lingkungan diterapkan sebagai partisipasi pengembang properti untuk menurunkan efek gas rumah kaca (GRK).
Iwan mencontohkan, perusahaan multinasional di Jakarta biasanya diharuskan menempati bangunan yang ramah lingkungan.
Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun sudah mulai mengarahkan setiap bangunan komersial mengusung konsep hijau.
Hal ini berbanding lurus dengan kewajiban setiap perusahaan melaporkan kegiatan environmental, social, governance (ESG).
"ESG ini akan mempersyaratkan pengelolaan asetnya juga harus sesuai atau tinggi. Dalam konteks environmental, beberapa aspek sosial itu tercakup dalam green building," jelas Iwan.
"Jadi kalau suatu properti memiliki sertifikat green building, maka dia akan baik ESG ratingnya terutama kalau sertifikasinya datang dari lembaga independen," imbuh dia.
Iwan menuturkan, kriteria pembangunan bangunan ramah lingkungan dilakukan di area dengan infrastruktur yang memadai. Makin dekat ke tengah perkotaan maka akan makin baik.
Baca juga: Riset Deloitte: Semakin Banyak “Tenant” Properti Inginkan Bangunan Rendah Karbon
"Artinya dia akan mengoptimalkan ruang-ruang kota yang ada, karena artinya utilisasi dari infrastruktur yang ada di dalam kota bisa dimanfaatkan semaksimum mungkin," papar Iwan.
Sebaliknya, dia tidak merekomendasikan proyek yang dibangun di atas lahan baru seperti pertanian yang diubah menjadi kawasan industri ataupun perumahan.
Sebab, biasanya kawasan itu belum didukung infrastruktur yang optimal. Termasuk ketidaksiapan jalan, jaringan air minum, hingga jaringan listrik untuk penghuni.
"Lebih bagus lagi kalau lokasinya itu justru bekas area yang negatif. Misalkan bekas pembuangan sampah, bekas industri yang terkontaminasi, daerah-daerah kumuh yang mulai terdegradasi kualitasnya. Itu bisa direvitalisasi, bisa ditingkatkan tanpa menimbulkan penolakan sosial," ungkap Iwan.
Pilihan lokasi tersebut, nantinya meningkatkan nilai investasi karena bertujuan memperbaiki area yang telah rusak.
Di sisi lain, Iwan menggarisbawahi bahwa masih belum banyak perumahan di Indonesia yang memiliki sertifikasi bangunan hijau.
Indonesia sendiri, memiliki sertifikasi bangunan hijau bernama Greenship yang dikeluarkan GBCI dan telah diakui secara internasional.
Baca juga: Accacia Incar Pasar Dekarbonisasi Properti Senilai 18 Triliun Dolar AS
"Yang juga masih jarang adalah kawasan yang berusaha untuk disertifikasi. Jauh lebih kompleks kawasan menyertifikasi kawasan, tetapi itu sebetulnya bentuk komitmen yang paling konkret dari developer," ucap Iwan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya