Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/03/2025, 19:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Penerbitan lahan perkebunan sawit membutuhkan kebijakan satu peta hutan atau one map policy sebagai implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Hal tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa, sebagaimana dilansir Antara, Senin (10/3/2025).

Menurut Yanto, penertiban lahan hendaknya dilakukan secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan keberlanjutan kontribusi industri kelapa sawit baik secara lokal, nasional, maupun Internasional.

Baca juga: Ekspansi Sawit: Peluang Ekonomi yang Mengancam Lingkungan?

Dia menuturkan, kebijakan satu peta hutan sebetulnya sudah dicanangkan sejak dulu. Saat ini urgensi kebijakan tersebut harus dipaksakan untuk dieselesaikan.

"Sehingga acuannya satu peta, semua sepakat. Kalau sekarang, kan Kementerian Kehutanan punya peta, Kementerian Transmigrasi punya peta," kata Yanto.

Di sisi lain, satuan tugas (satgas) penertiban kawasan hutan juga bergerak dengan mengacu kepada peta hasil penetapan kawasan hutan yang telah dikukuhkan atau ditetapkan.

"Perlu pengukuhan kawasan hutan dulu. Jangan menggunakan peta hutan versi Kehutanan yang belum dikukuhkan, belum ditetapkan," ujarnya.

Baca juga: PLN Rilis 592 Renewable Energy Ceritificate untuk Industri Sawit

Pengukuhan kawasan hutan merupakan proses penting dalam menetapkan status legal dan legitimasi suatu wilayah sebagai kawasan hutan.

Ia menilai, pengukuhan kawasan hutan idealnya dilakukan dengan mengundang semua pemangku kepentingan yang terkait atau berbatasan dengan kawasan hutan tersebut.

Sehingga, lanjut dia, penetapan kawasan hutan tidak boleh dilakukan secara sepihak seperti yang dilakukan saat ini, yang terkesan tidak mendapat legitimasi dari pihak lain dan atau masyarakat.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit, sekitar 3,3 juta hektare lahan berada di dalam kawasan hutan.

Baca juga: Petani Sawit dan Masyarakat Adat Kolaborasi Deklarasi Hutan Adat di Sekadau Kalbar

Untuk itu, menurut Yanto, satgas harus melakukan inventarisasi secara cermat karena lahan sawit yang masuk kawasan hutan terpencar di berbagai wilayah di Tanah Air.

Konsultasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan wajib dilakukan untuk memastikan transparansi dan menghindari konflik sosial.

Masyarakat setempat dan pihak terkait diberi kesempatan untuk memberikan masukan atau keberatan terkait penetapan kawasan hutan.

Setelah penataan batas dan konsultasi publik, pemerintah menetapkan kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mencakup batas-batas kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan yaitu hutan lindung, hutan konservasi, atau hutan produksi.

Lebih lanjut, Yanto sepakat dengan semangat munculnya Perpres No 5 tahun 2025 yang secara filosofis berniat bagus untuk menertibkan kawasan hutan.

Baca juga: Guru Besar IPB: Limbah Cair Pabrik Sawit Punya Nilai Ekonomi Jika Diolah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau