KOMPAS.com - Data pemantauan perusahaan asal Swiss, IQAir, menunjukkan hanya tujuh negara yang memenuhi standar kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2024.
Ketujuh negara tersebut antara lain Australia, Selandia Baru, Bahama, Barbados, Grenada, Estonia, dan Islandia.
IQAir mencatat, Chad serta Bangladesh menjadi negara paling tercemar di dunia pada tahun yang sama, dengan tingkat kabut asap rata-rata 15 kali lebih tinggi dari pedoman WHO.
Baca juga: Polusi Udara Global Turun, tetapi di Negara Berkembang Tetap Tinggi
Dikutip dari Reuters, Rabu (12/3/2025), Chad juga dinobatkan sebagai negara paling tercemar di 2022.
Konsentrasi rata-rata partikel udara kecil dan berbahaya atau PM2.5 di Chad mencapai 91,8 mikrogram per meter kubik (mg/cu m) pada 2024. Angka ini sedikit lebih tinggi dari tahun 2022.
Berdasarkan rekomendasi WHO, tingkat PM2.5 di bawah standad 5 mg/m3 hanya terjadi di 17 persen kota dunia tahun lalu.
India menempati peringkat kelima terkait polusi udara, menyusul Chad, Bangladesh, Pakistan, dan Republik Demokratik Kongo. India mengalami penurunan PM2.5 sebesar 7 persen di tahun 2025 menjadi 50,6 mg/cu m.
Science Manager IQAir, Christi Chester-Schroeder, menilai perubahan iklim turut berkontribusi dalam peningkatan polusi udara.
"Suhu yang lebih tinggi berisiko menyebabkan kebakaran hutan parah yang melanda kawasan Asia Tenggara," ungkap Christi.
Baca juga: Tergabung di GPAP, 25 Negara Bersatu Lawan Polusi Plastik
Di sisi lain, Christi mengatakan kesenjangan data terutama di Asia dan Afrika mengaburkan gambaran dunia terkait kualitas udara.
Skema pemasangan sensor kualitas udara yang biasanya terdapat di gedung kedutaan ataupun konsulat Amerika Serikat kini telah dihentikan karena keterbatasan anggaran.
Alhasil, data yang tercatat lebih dari 17 tahun lalu dihapus dari situs pemantauan kualitas udara resmi pemerintah AS.
"Sebagian besar negara memiliki beberapa sumber data lain, tetapi hal ini akan berdampak signifikan terhadap Afrika, karena sering kali sumber-sumber ini merupakan satu-satunya sumber data pemantauan kualitas udara waktu nyata yang tersedia untuk publik," jelas Christi.
Sementara itu, Direktur Clean Air Program University of Chicago's Energy Policy Institute (EPIC), Christa Hasenkopf, menyatakan sedikitnya 34 negara akan kehilangan akses data polusi setelah program AS ditutup.
Padahal, skema Departemen Luar Negeri AS itu dapat meningkatkan kualitas udara di kota-kota tempat monitor ditempatkan hingga meningkatkan harapan hidup.
"(Hal ini) merupakan pukulan besar bagi upaya perbaikan kualitas udara di seluruh dunia," tutur Christa.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya