Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hanya 7 Negara yang Penuhi Standar Kualitas Udara WHO, Chad dan Bagladesh Paling Tercemar

Kompas.com, 12 Maret 2025, 12:52 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Data pemantauan perusahaan asal Swiss, IQAir, menunjukkan hanya tujuh negara yang memenuhi standar kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2024.

Ketujuh negara tersebut antara lain Australia, Selandia Baru, Bahama, Barbados, Grenada, Estonia, dan Islandia.

IQAir mencatat, Chad serta Bangladesh menjadi negara paling tercemar di dunia pada tahun yang sama, dengan tingkat kabut asap rata-rata 15 kali lebih tinggi dari pedoman WHO.

Baca juga: Polusi Udara Global Turun, tetapi di Negara Berkembang Tetap Tinggi

Dikutip dari Reuters, Rabu (12/3/2025), Chad juga dinobatkan sebagai negara paling tercemar di 2022.

Konsentrasi rata-rata partikel udara kecil dan berbahaya atau PM2.5 di Chad mencapai 91,8 mikrogram per meter kubik (mg/cu m) pada 2024. Angka ini sedikit lebih tinggi dari tahun 2022.

Berdasarkan rekomendasi WHO, tingkat PM2.5 di bawah standad 5 mg/m3 hanya terjadi di 17 persen kota dunia tahun lalu.

India menempati peringkat kelima terkait polusi udara, menyusul Chad, Bangladesh, Pakistan, dan Republik Demokratik Kongo. India mengalami penurunan PM2.5 sebesar 7 persen di tahun 2025 menjadi 50,6 mg/cu m.

Science Manager IQAir, Christi Chester-Schroeder, menilai perubahan iklim turut berkontribusi dalam peningkatan polusi udara.

"Suhu yang lebih tinggi berisiko menyebabkan kebakaran hutan parah yang melanda kawasan Asia Tenggara," ungkap Christi.

Baca juga: Tergabung di GPAP, 25 Negara Bersatu Lawan Polusi Plastik

Di sisi lain, Christi mengatakan kesenjangan data terutama di Asia dan Afrika mengaburkan gambaran dunia terkait kualitas udara.

Skema pemasangan sensor kualitas udara yang biasanya terdapat di gedung kedutaan ataupun konsulat Amerika Serikat kini telah dihentikan karena keterbatasan anggaran.

Alhasil, data yang tercatat lebih dari 17 tahun lalu dihapus dari situs pemantauan kualitas udara resmi pemerintah AS.

"Sebagian besar negara memiliki beberapa sumber data lain, tetapi hal ini akan berdampak signifikan terhadap Afrika, karena sering kali sumber-sumber ini merupakan satu-satunya sumber data pemantauan kualitas udara waktu nyata yang tersedia untuk publik," jelas Christi.

Sementara itu, Direktur Clean Air Program University of Chicago's Energy Policy Institute (EPIC), Christa Hasenkopf, menyatakan sedikitnya 34 negara akan kehilangan akses data polusi setelah program AS ditutup.

Padahal, skema Departemen Luar Negeri AS itu dapat meningkatkan kualitas udara di kota-kota tempat monitor ditempatkan hingga meningkatkan harapan hidup.

"(Hal ini) merupakan pukulan besar bagi upaya perbaikan kualitas udara di seluruh dunia," tutur Christa.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau