KOMPAS.com - Ilmuwan dari Massachusetts Institute of Technology AS menemukan emisi gas rumah kaca bisa mengubah lingkungan luar angkasa di orbit Bumi rendah.
Perubahan itu, menurut penelitian yang dimuat di Nature Sustainability seiring waktu berpotensi mengurangi jumlah satelit yang dapat beroperasi di sana.
Para peneliti melaporkan bahwa karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya dapat menyebabkan atmosfer bagian atas menyusut.
Baca juga: Perubahan Iklim Berpeluang Jadi Cuan untuk PLN, Kok Bisa?
Dan lapisan atmosfer yang menjadi perhatian khusus itu adalah termosfer, tempat Stasiun Luar Angkasa Internasional dan sebagian besar satelit mengorbit saat ini.
Dikutip dari Phys, Rabu (12/3/2025) dalam studi ini tim melakukan simulasi tentang bagaimana emisi karbon memengaruhi atmosfer bagian atas dan dinamika orbit untuk memperkirakan kapasitas daya dukung satelit di orbit Bumi rendah.
Tim kemudian membandingkan beberapa skenario. Pertama, konsentrasi gas rumah kaca tetap pada levelnya sejak tahun 2000 dan yang lain emisi berubah menurut Jalur Sosial Ekonomi Bersama (SSP) Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).
Mereka menemukan bahwa skenario dengan peningkatan emisi yang berkelanjutan akan menyebabkan berkurangnya daya dukung secara signifikan di seluruh orbit rendah Bumi.
Simulasi memperkirakan bahwa pada tahun 2100, jumlah satelit yang dapat ditampung dengan aman di ketinggian 200 dan 1000 kilometer dapat berkurang hingga 50-66 persen karena efek gas rumah kaca.
Jika kapasitas satelit terlampaui, bahkan di wilayah lokal, para peneliti memperkirakan bahwa wilayah tersebut akan mengalami "ketidakstabilan yang tak terkendali," atau serangkaian tabrakan yang akan menciptakan begitu banyak puing sehingga satelit tidak dapat lagi beroperasi dengan aman di sana.
"Perilaku kita terhadap gas rumah kaca di Bumi selama 100 tahun terakhir berdampak pada cara kita mengoperasikan satelit selama 100 tahun ke depan," kata penulis studi Richard Linares, profesor madya di Departemen Aeronautika dan Astronautika MIT (AeroAstro).
Pada saat yang sama, terjadi peningkatan besar dalam jumlah satelit yang diluncurkan. Jika kita tidak mengelola aktivitas ini dengan hati-hati dan berupaya mengurangi emisi, luar angkasa dapat menjadi terlalu padat, yang menyebabkan lebih banyak tabrakan dan serpihan
Baca juga: Green Property Jadi Solusi Atasi Perubahan Iklim di Perkotaan
"Kami mengandalkan atmosfer untuk membersihkan puing-puing kami. Dan jika atmosfer berubah, maka lingkungan puing-puing juga akan berubah," ungkap penulis utama William Parker, mahasiswa pascasarjana di AeroAstro.
"Kami menunjukkan prospek jangka panjang pada puing-puing orbital sangat bergantung pada pengurangan emisi gas rumah kaca kami." tambah Parker.
Saat ini ada lebih dari 10.000 satelit yang melayang di orbit Bumi rendah. Satelit-satelit itu memberikan layanan penting, termasuk internet, komunikasi, navigasi, prakiraan cuaca dan perbankan.
Populasi satelit telah membengkak dalam beberapa tahun terakhir, yang mengharuskan operator untuk melakukan manuver penghindaran tabrakan secara teratur agar tetap aman.
Setiap tabrakan yang terjadi dapat menghasilkan puing-puing yang tetap berada di orbit selama beberapa dekade atau abad, meningkatkan kemungkinan tabrakan susulan dengan satelit, baik yang lama maupun yang baru.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya