KOMPAS.com - Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan, pemerintah akan segera meluncurkan perdagangan karbon dari sektor kehutanan.
Dia menuturkan, program ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.
"Langkah ini sejalan dengan visi Astacita yang diusung Presiden RI Prabowo Subianto dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan," kata Raja Juli, sebagaimana dilansir Antara, Kamis (13/3/2025).
Baca juga: Jakarta Jadi Pionir Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon
Pada tahap awal, perdagangan karbon ini mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta yakni Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan skema Perhutanan Sosial.
Kedua pengelolaan hutan tersebut memiliki potensi serapan karbon yang berbeda.
PBPH memiliki potensi serapan 20-58 ton karbon dioksida per hektar dengan harga 5-10 dollar AS per ton karbon dioksida.
Sedangkan Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton karbon dioksida per hektar dengan harga mencapai 30 euro per ton karbon dioskdia.
Baca juga: Indonesia Disebut Berpeluang Pasarkan Jasa Penyimpanan Karbon ke Luar Negeri
Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton karbon dioskida, dengan nilai transaksi berkisar Rp 1,6 triliun sampai Rp 3,2 triliun per tahun.
Jika dioptimalkan hingga 2034, lanjut Raja Juli, maka potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai Rp 97,9 triliun sampai Rp 258,7 triliun per tahun.
Dari angka tersebut, kontribusi pajaknya sekitar Rp 23 triliun hingga Rp 60 triliun, serta penerimaan negara bukan paja (PNBP) antara Rp 9,7 triliun sampai Rp 25,8 triliun per tahun.
Selain itu, program ini diharapkan dapat menciptakan 170.000 lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon.
Baca juga: Punya Potensi Tangkap Karbon, Mikroalga Dikembangkan di RI
Raja Juli menegaskan, perdagangan karbon tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga berperan dalam percepatan reforestasi melalui konservasi dan strategi afforestation, reforestation, and revegetation (ARR).
Dia menambahkan, untuk memastikan daya saing perdagangan karbon Indonesia secara global, Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup telah berkoordinasi dengan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Iklim Hashim Djojohadikusumo.
Salah satu langkah strategis yang tengah didorong adalah penyelesaian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, yang ditargetkan rampung pada Mei 2025.
Selain itu, pemerintah juga tengah merevisi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 terkait Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.
"Dengan berbagai langkah ini, Kementerian Kehutanan optimistis bahwa perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta penguatan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim," papar Raja Antoni.
Baca juga: Liverpool Bermitra dengan 1PointFive untuk Kredit Penghapusan Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya