KOMPAS.com - Direktur Save Indonesian Nature & Threatened Species (Sintas) Hariyo T Wibisono meyakini, harimau jawa (Panthera tigris sondaica) tidak mungkin masih ada dengan kondisi ekologis Pulau Jawa saat ini.
Hal tersebut disampaikan Hariyo menanggapi banyaknya laporan penampakan harimau jawa di Pulau Jawa.
"Dia kan secara ekologis enggak mungkin, enggak mungkin ada. Jawa ini hutannya sudah terlalu sempit (untuk Harimau jawa)," kata Hariyo sebagaimana dilansir Antara, Kamis (17/4/2025).
Baca juga: Kemenhut Akan Pidanakan Pemburu Harimau Sumatera, 6 Terduga Pelaku Ditangkap
Hariyo yang juga menjadi salah satu Majelis Perwalian Amanah Forum Konservasi Macan Tutul jawa (Formata) itu menuturkan, seekor harimau membutuhkan ruang hidup 40 sampai 300 kilometer persegi.
Dengan luas tutupan hutan yang tersisa, menurutnya Pulau Jawa tidak mungkin lagi untuk menjadi habitat harimau jawa.
Dia menambahkan, sampai saat ini ada banyak kamera jebak yang telah dipasang, namun tidak pernah ada video yang menunjukkan satwa yang dinyatakan punah pada 1980-an itu di alam liar.
"Kalau ada dan laporan tersebut benar, kenapa tidak ada satupun yang dapat. Kalaupun ada itu pasti kelihatan," ucap Hariyo.
Baca juga: Harimau Mati di Riau Diduga Dibunuh Pemburu Profesional
Dia juga menyebutkan, di Taman Nasional Ujung Kulon, hampir 60 persen wilayahnya telah terkaver kamera jebak yang dipasang pihaknya selama lima tahun.
Akan tetapi, sampai saat ini tidak pernah terlihat sosok satwa yang pernah menjadi penguasa hutan Jawa ini satupun.
Hal ini semakin meyakinkannya bahwa sudah tidak ada lagi harimau jawa hidup di belantara Pulau Jawa. Terlebih, taman nasional lain juga tidak mendukung untuk habitat harimau jawa karena cenderung lebih sempit.
"Kemudian Alas Purwo, Baluran itu juga enggak mungkin, lebih sempit. Banyak tempat yang sudah dipasang kamera itu kalau ada pasti ada," papar Hariyo.
Baca juga: Harimau Berperilaku Unik Muncul di Sumbar, Ikuti Warga sampai Batas Kampung
Terkait jejak-jejak yang bisa menjadi acuan terkait keberadaan satwa tersebut, menurut dia diperlukan lebih dari satu bukti di alam.
Semisal scent marking atau tanda bau dari air seni dan feses baik di tanah atau pohon, kemudian scrap mark atau tanda cakaran di pohon atau batu.
"Harimau atau macan tutul itu enggak mungkin meninggalkan single sign atau tanda tunggal. Setidaknya kalau ketemu, kita cari di daerah sekitarnya misal 1-2 km persegi, itu pasti ada tanda yang lain, tanda penuh, enggak mungkin hanya satu," jelas Hariyo.
Terkait temuan genetik yang berasal dari sehelai bulu di wilayah Desa Cipendeuy, Kabupaten Sukabumi pada 2019 lalu, dia meyakini tidak terkonfirmasi sebagai harimau jawa, meski dilaporkan ada jejak kaki dan cakaran di dekat lokasi itu.
"Sejauh ini temuan-temuan yang dilaporkan tidak terkonfirmasi. Yang genetik itu juga kalau lihat adalah informasi awal. Kalau baca laporannya itu, hasilnya mempertanyakan yaitu 'apakah Harimau jawa masih ada di alam atau tidak, itu perlu penelusuran lebih lanjut'. Rrtinya tulisan itu sendiri tidak mengonfirmasi," tuturnya.
Baca juga: 2 Bayi Harimau Sumatera Lahir di Kebun Binatang Perancis, Dinamai Rimba dan Toba
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya