JAKARTA, KOMPAS.com – “Timbullah dalam diriku suatu keinginan yang berangsur-angsur tumbuh menjadi besar, yaitu keinginan untuk kebebasan dan kemerdekaan, berdiri sendiri. Keadaan di sekitarku, baik di lingkungan langsung dan tidak langsung, yang mematahkan hatiku dan membuatku menangis dengan kesedihan tak terhingga, telah membangunkan kembali keinginan itu.”
Penggalan surat yang ditujukan kepada pejuang feminisme Eropa, Estella H Zeehandelaar, yang dibacakan Marsha Timothy itu seakan berhasil menghidupkan kembali sosok dan semangat Raden Ajeng Kartini.
Ratusan penonton dibuat hanyut lewat pertunjukan sastra dan suara bertajuk “Terbitlah Terang: Pembacaan Surat dan Gagasan Kartini” yang digelar di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Senin (21/4/2025).
Melalui surat-suratnya, Kartini tak hanya memperlihatkan kecerdasan dan kepekaan sosial, tetapi juga keberanian untuk menggugat struktur sosial yang timpang serta membungkam suara dan peran perempuan.
Hingga hari ini, sosok Kartini masih menjadi nyala api bagi perempuan untuk berjuang menjadi setara di segala lini kehidupan. Nyalanya pun membara hingga lebih dari 2.000 kilometer jauhnya dari Jakarta.
Di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, tepatnya. Semangat membara Kartini juga menyala dalam diri Yulianti Marcelina (34 tahun).
Suara mesin berat terdengar dari kejauhan saat matahari mulai beranjak tinggi. Di tengah riuhnya aktivitas tambang, sebuah kendaraan raksasa perlahan melaju. Di balik kemudinya, duduk sosok yang mungkin tidak banyak diduga, seorang perempuan.
Yulianti adalah salah satu dari segelintir perempuan yang mengemudikan dump truck berkapasitas puluhan ton di area operasional PT Vale Indonesia.
Pekerjaan yang lazim digeluti kaum laki-laki itu tidak menyurutkan tekad Yulianti untuk menembus batas tersebut. Sejak 2017, ia telah menjadi bagian dari armada operator alat berat perusahaan tambang nikel terkemuka di Tanah Air itu.
Sosok perempuan muda seperti dirinya berhasil mematahkan stereotipe tentang dunia tambang yang maskulin.
Sebagai gambaran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017, jumlah pekerja perempuan di sektor pertambangan sekitar 115 ribu orang, sedangkan laki-laki mencapai 1,28 juta orang.
Pekerjaan sebagai pengemudi dump truck—dengan jam kerja panjang, medan berat, dan risiko tinggi—selama ini identik dengan laki-laki. Namun, bagi Yulianti, pilihan ini adalah bentuk keberanian dan cinta kepada tanah kelahirannya.
“Saya besar di Sorowako. Sejak kecil melihat aktivitas tambang, saya penasaran bagaimana rasanya berada di balik kemudi alat berat,” ujar Yulianti saat ditemui Kompas.com, Jumat (2/7/2024).
Bermodalkan keberanian dan semangat belajar, Yulianti mendaftar dan mengikuti pelatihan operator alat berat yang diselenggarakan Vale. Tidak mudah. Ia harus bersaing dengan ratusan pelamar, sebagian besar laki-laki. Namun, berkat ketekunan dan komitmen, ia berhasil lolos dan kini menjadi salah satu dari sedikit perempuan yang mengemudikan dump truck di area tambang tersebut.
“Saat pertama kali masuk kabin, saya sempat gugup. Tapi lama-lama terbiasa, dan sekarang saya justru merasa nyaman,” ucapnya sambil tersenyum.
Kisah Yulianti adalah satu dari sekian bukti bahwa industri pertambangan kini mulai membuka ruang lebih luas komunitas lokal, termasuk kaum perempuan.
PT Vale Indonesia—perusahaan tambang nikel yang telah beroperasi di Indonesia selama lebih dari setengah abad—memandang penting peran perempuan dalam inovasi dan transformasi sektor ini menuju arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Baca juga: Vale Indonesia Klaim Telah Rehabilitasi 2,5 Kali Lahan Tambangnya
Memang, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan tambang global, termasuk Vale, mulai melihat bahwa pelibatan komunitas lokal bukan sekadar aksi filantropi.
Bahkan, sejak 2020, Vale telah menegaskan komitmen mengenai Diversity, Equity, Inclusion, and Inclusion (DEI).
Upaya tersebut terintegrasi dalam pendekatan keberlanjutan perusahaan yang dikenal dengan prinsip Environment, Social, and Governance (ESG).
Pelibatan komunitas lokal menjadi salah satu bentuk inovasi sosial yang berdampak nyata bagi keberlangsungan bisnis.
Penelitian yang dilakukan McKinsey and Company pada 2018 juga menguatkan hal tersebut. Laporan bertajuk “Divesity Wins, How Inclusion Matters” ini menunjukkan bahwa perusahaan dengan keragaman gender dalam tim manajemen cenderung memiliki kinerja keuangan yang lebih baik.
Di sektor tambang yang penuh risiko, kehadiran perempuan dalam berbagai level organisasi juga terbukti memperkuat budaya keselamatan kerja.
Vale sendiri melihat bahwa kehadiran perempuan, seperti Yulianti, tak hanya memperkaya dinamika kerja, tetapi juga membawa pendekatan yang lebih hati-hati, teliti, dan kolaboratif.
Baca juga: Menitip Asa Masa Depan Tambang Berkelanjutan Vale Indonesia di Danau Matano
Chief Executive Officer (CEO) Vale Febriany Eddy mengatakan bahwa peran perempuan cukup signifikan di perusahaan. Salah satunya sebagai sumber perspektif dalam melihat sejumlah hal. Pengambilan keputusan di Vale, misalnya, menjadi lebih baik dengan keterlibatan wanita.
“Dengan keberagaman itu, kita bisa melihat banyak perspektif yang kaya. Di dalam perbedaan itulah ada sebuah kekuatan,” lanjut perempuan pertama yang memimpin perusahaan tambang besar di Indonesia itu.
Vale, tambah dia, juga secara konsisten mendorong banyak perempuan untuk bisa bergabung dalam industri pertambangan.
“Kita memerlukan lebih banyak sumber daya manusia yang beragam dan lingkungan yang inklusif untuk membangun industri yang sangat penting bagi kehidupan manusia,” kata Febri.
Komitmen kesetaraan Vale dan tangan dingin Febri berhasil meningkatkan jumlah pekerja perempuan dari angka 8 persen pada 2021 kala awal kepemimpinannya menjadi 10 persen pada 2023. Angka ini pun bertambah menjadi 11,7 persen pada 2024.
“Kami menargetkan jumlah pekerja perempuan bisa mencapai 17 persen pada 2030,” tegas Febri.
Model yang dikembangkan PT Vale Indonesia menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal teknologi ramah lingkungan, melainkan juga investasi sosial jangka panjang. Ketika diberdayakan, masyarakat lokal akan menjadi bagian dari solusi dan inovasi.
Menurut Febri, keterlibatan perempuan dalam industri ekstraktif bukan hanya soal representasi, melainkan juga langkah strategis menuju transformasi sosial-ekologis yang lebih adil dan inklusif.
“Praktik pertambangan yang berkelanjutan bukan soal teknologi ramah lingkungan semata. Lebih dari itu, pertambangan berkelanjutan juga tentang siapa saja yang terlibat di dalamnya,” imbuh dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya