Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapasitas Nuklir Dunia Terus Tumbuh, Diprediksi 494 GW pada 2035

Kompas.com - 24/04/2025, 16:00 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Laporan GlobalData menyebut, kapasitas nuklir global diperkirakan akan tumbuh dari 395 GW pada tahun 2024 menjadi 494 GW pada tahun 2035.

Sektor tenaga nuklir global telah mengalami pertumbuhan yang stabil dalam beberapa tahun terakhir.

Pertumbuhan tersebut didorong oleh kebutuhan akan daya beban dasar rendah karbon, keamanan energi, dan minat baru dalam mendekarbonisasi sektor industri.

Selain itu, penambahan kapasitas baru, kemajuan dalam teknologi reaktor dengan reaktor modular kecil (SMR) yang muncul sebagai solusi transformatif serta kebijakan yang mendukung, juga telah berkontribusi pada peningkatan kapasitas tenaga nuklir.

Mengutip Power Engineering International, Kamis (24/4/2025), laporan terbaru dari GlobalData berjudul "Nuclear Power Market, Update 2025" ini mengungkapkan bahwa produksi listrik tenaga nuklir akan meningkat dari 2.616 TWh menjadi 3.410 TWh selama periode 2024-2035.

Hal tersebut mencerminkan Tingkat Pertumbuhan Tahunan Gabungan (CAGR) sebesar 2 persen. CAGR adalah metrik yang digunakan untuk mengukur tingkat pertumbuhan investasi selama periode waktu tertentu.

Baca juga: Sudah Generasi 4, Nuklir Dinilai Bisa Jadi Alternatif Transisi Energi Bersih

Meskipun tenaga nuklir menyumbang sekitar 9 persen dari produksi listrik global, ada dua tren berbeda terkait dengan tenaga nuklir di tingkat global.

Negara-negara dengan reaktor yang menua memilih untuk memperpanjang masa pakainya. Sementara negara lain, khususnya Asia sedang gencar membangun reaktor nuklir baru untuk meningkatkan kapasitas produksi listrik mereka.

Amerika Serikat tetap menjadi produsen tenaga nuklir terbesar di dunia, dengan kapasitas terpasang sebesar 97GW dan menghasilkan tenaga nuklir terbanyak yakni 787,6 TWh pada 2024.

Perancis memiliki kapasitas terpasang yang lebih kecil dari AS, yaitu 61,4 GW. Namun, ketergantungan pada tenaga nuklir sangat tinggi, yaitu lebih dari 60 persen dari total kebutuhan listrik negara.

Sedangkan produksi tahunannya adalah 333,3 TWh, yang lebih rendah dari AS karena kapasitasnya yang lebih kecil.

Sementara itu, China memiliki armada nuklir termuda dan berkembang paling pesat. Kapasitas terpasangnya adalah 56 GW, masih di bawah AS dan Prancis.

Meskipun kapasitasnya lebih rendah dari Prancis, total produksi listrik tenaga nuklirnya lebih tinggi, yaitu 386,1 TWh. Pencapaian Tiongkok yang melampaui Prancis dalam total produksi menunjukkan betapa pesatnya perkembangan sektor tenaga nuklir di negara tersebut.

"Ada beberapa alasan utama di balik meningkatnya adopsi energi nuklir di seluruh dunia," kata Mohammed Ziauddin, analis tenaga listrik di GlobalData.

Beberapa alasan yang dimaksud termasuk meningkatnya fokus pada keamanan energi akibat ketegangan geopolitik, meningkatnya permintaan akan tenaga listrik rendah karbon yang dapat diandalkan, dukungan pemerintah melalui regulasi dan insentif seperti hibah, jaminan pinjaman, kredit pajak produksi dan investasi (PTC dan ITC).

Selain itu peningkatan terjadi karena mekanisme berbasis pasar seperti Kontrak untuk Perbedaan (CfD), kemajuan dalam SMR dan teknologi generasi berikutnya, serta lonjakan permintaan listrik dari pusat data.

Baca juga: Atasi Emisi karena AI, Big Tech Andalkan Nuklir dan Carbon Capture

Pertumbuhan SMR

Laporan juga menyinggung soal pertumbuhan SMR. Tidak seperti reaktor nuklir skala besar tradisional, SMR menawarkan desain yang ringkas, penyebaran yang fleksibel, dan fitur keselamatan canggih yang membuatnya sangat cocok untuk wilayah terpencil, jaringan yang lebih kecil, dan aplikasi industri.

Dengan kapasitas yang biasanya di bawah 300 MW, SMR dapat dibuat di pabrik, diangkut, dan dirakit di lokasi, sehingga secara signifikan mengurangi waktu dan biaya konstruksi.

Jaringan SMR global berkembang pesat, dengan lebih dari 100 reaktor dalam berbagai tahap pengembangan.

Meskipun saat ini hanya beberapa SMR yang beroperasi, terutama di Rusia dan China, dekade berikutnya diharapkan akan membawa peningkatan signifikan dalam kapasitas baru, dengan lebih dari 10.000 MW diantisipasi pada tahun 2035.

Negara-negara seperti AS, Kanada, Inggris, China, dan Rusia memimpin dengan berbagai strategi penyebaran, yang menjadikan SMR sebagai pilar utama dalam transisi global menuju sistem energi rendah karbon yang aman.

“Dengan meningkatnya kekhawatiran atas perubahan iklim dan keamanan energi, tenaga nuklir telah muncul kembali sebagai pilar penting dalam transisi energi global," papar Zia.

Pemerintah di seluruh dunia menerapkan target nol-bersih yang ambisius dan berinvestasi dalam sumber energi yang bersih dan dapat didistribusikan untuk mendekarbonisasi ekonomi mereka.

Energi nuklir, dengan kemampuannya untuk menyediakan daya beban dasar yang andal dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, memainkan peran penting dalam transisi ini.

“Seiring negara-negara meningkatkan fokus mereka pada SMR, perpanjangan masa pakai, dan teknologi nuklir canggih, pasar tenaga nuklir siap untuk pertumbuhan jangka panjang, didorong oleh dua tujuan ketahanan energi dan netralitas iklim,” tambah Zia.

Baca juga: Konsumsi Listrik Dunia Naik, 40 Persen dari Nuklir dan Energi Terbarukan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau