KOMPAS.com - Enam mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) meminta aturan mengenai keterwakilan perempuan dalam komposisi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) minimal 30 persen.
Keenam mahasiswa tersebut terdiri atas Aulia Shifa Salsabila, Meika Yudiastriva, Safira Ika Maharani, Nadia Talitha Ivanadentrio, Dzaky Alfakhri, dan Satrio Anggito Abimanyu.
Mereka mengajukan uji materi Pasal 18 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: Perempuan, Tambang, dan Masa Depan Berkelanjutan
"Pemohon I–IV (seluruhnya perempuan) bercita-cita menjadi hakim MK. Namun, Pasal 18 ayat (1) UU MK tentang pengangkatan atau pengisian hakim tidak diatur terkait partisipasi atau kuota perempuan sebagai calon hakim MK," kata Safira dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Menurut dia, ketiadaan aturan yang jelas terkait kuota keterwakilan perempuan tersebut menyebabkan pengangkatan atau pengisian hakim MK perempuan menjadi tidak pasti dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Mereka menuturkan, ketiadaan aturan tersebut juga akan berdampak terhadap laki-laki apabila dalam seleksi hakim konstitusi ke depannya, ternyata membutuhkan calon hakim perempuan.
Para pemohon juga membandingkan komposisi hakim konstitusi di Indonesia dengan hakim di MK, Mahkamah Agung, atau setingkat di negara lain.
Baca juga: Hari Bumi, Panggilan pada Perempuan untuk Jadi Penggerak Keberlanjutan
Mereka membeberkan, pergantian hakim konstitusi RI sejak 2003 hingga 2024 didominasi oleh laki-laki, yakni sebesar 96,875 persen, sedangkan perempuan hanya 3,125 persen.
Adapun hakim konstitusi perempuan sejak MK didirikan pada 2003 hanya dua, yakni Maria Farida Indrati dan Enny Nurbaningsih.
Sementara itu, hakim konstitusi Korea Selatan, hakim Mahkamah Persekutuan Malaysia, hakim konstitusi Austria, hakim Supreme Court Amerika Serikat, dan hakim konstitusi Jerman cenderung seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Oleh sebab itu, para mahasiswi tersebut menilai, Pasal 18 ayat (1) UU MK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Baca juga: Kasus Pembunuhan Jurnalis Juwita, Komnas Perempuan Serukan Mekanisme Pengawasan Femisida
Adapun pasal yang diuji berbunyi, "Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden, ditetapkan dengan keputusan Presiden."
Para pemohon meminta agar pasal tersebut diubah menjadi, "Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden, dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden."
Di akhir sidang, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur meminta para pemohon memaknai dasar gender dalam pengujian suatu norma.
Sebab, tindakan afirmasi berupa 30 persen keterwakilan perempuan bisa berdampak buruk bagi hak-hak perempuan jika ditempatkan pada konteks yang keliru.
Baca juga: Kasus Pembunuhan Jurnalis Juwita, Komnas Perempuan Serukan Mekanisme Pengawasan Femisida
Hal senada juga disampaikan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Dia menyebut hakim MK merupakan jabatan yang didapatkan melalui seleksi tertentu sehingga pemberlakuan tindakan afirmasi perlu didalami lebih lanjut.
"Kalau kemudian ini dikabulkan, bagaimana dampaknya kepada selected official yang lain? Apakah aksi afirmatif itu masih dimungkinkan tidak menimbulkan diskriminasi atau justru kemudian timbul diskriminasi dalam proses seleksi tersebut?" kata Enny.
Para pemohon diberikan waktu 14 hari jika ingin memperbaiki permohonannya. Naskah perbaikan diterima selambat-lambatnya oleh Kepaniteraan MK pada 6 Mei 2025.
Baca juga: Perempuan Berperan Penting saat Bencana, Butuh Kebijakan Berperspektif Gender
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya