Just Energy Transition Partnership (JETP) atau Transisi Energi yang Adil yang diteken Indonesia belum memberi dampak signifikan. Tekanan finansial, dominasi pinjaman ketimbang hibah, dan belum adanya kerangka kerja transisi yang kuat menjadikan pelaksanaan JETP diragukan.
Baca juga: Politik Buruk Menyusahkan Bumi, Picu Kemunduran Transisi Energi
Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup sempat mempertanyakan relevansi JETP dan Perjanjian Paris bagi Indonesia, menyoroti ketimpangan historis emisi antara negara maju dan berkembang.
Meskipun kecil secara geografis dan minim sumber daya energi domestik, Singapura mencatatkan kemajuan signifikan dalam transisi energi bersih.
Negara kota ini adalah satu-satunya di Asia Tenggara yang berhasil mencatat peningkatan tahunan sebesar 16 persen dalam kapasitas energi terbarukan—angka yang memenuhi ambisi global pelipatgandaan kapasitas energi bersih hingga 2030.
Dalam pembaruan kontribusi nasionalnya (Nationally Determined Contributions/NDC) tahun ini, Singapura menegaskan kembali target untuk mencapai 2 GW kapasitas tenaga surya terpasang pada 2030.
Namun dengan keterbatasan lahan dan kebutuhan energi yang terus meningkat, tenaga surya domestik hanya menjadi bagian kecil dari strategi dekarbonisasi negara tersebut.
Baca juga: Pemerintah Akan Terus Kembangkan Energi Baru Masa Depan
Untuk mengisi kesenjangan tersebut, Singapura berencana mengimpor hingga 6 GW listrik rendah karbon dari negara-negara tetangganya.
Impor ini harus memiliki intensitas emisi tiga kali lebih rendah dari rata-rata global saat ini, meskipun angka tersebut masih tiga kali lebih tinggi dibanding standar ilmiah yang sesuai dengan upaya membatasi pemanasan global hingga 1,5°C sesuai Perjanjian Paris.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya