KOMPAS.com — Kesiapan Asia Tenggara untuk memenuhi target energi bersih global dipertanyakan usai Indonesia dan Vietnam sebagai dua negara dengan konsumsi energi terbesar di kawasan Asia Tenggara tidak meneken perjanjian untuk melipatgandakan penggunaan energi baru terbarukan pada tahun 2030.
Hal tersebut membuat keduanya menjadi pusat perhatian karena kebijakan energi domestik yang kontradiktif.
Disisi lain, meski dalam laporan terbaru dari Climate Analytics, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura turut serta mendukung Global Renewable Energy Pledge di COP28, hanya sedikit yang menunjukkan kemajuan nyata dalam kapasitas energi terbarukan.
Baca juga: Sumber Energi Baru Tersembunyi di Pegunungan
Analisis dari Climate Analytics menegaskan bahwa janji-janji iklim bersifat sukarela dan tanpa mekanisme penegakan.
“Komitmen ini sejauh ini belum masuk ke kebijakan nasional secara substansial. Tahun ini seharusnya menjadi ujian apakah janji tersebut hanya diplomasi simbolik atau dapat mendorong kebijakan nyata,” ujar Thomas Houlie, analis kebijakan energi dan iklim lembaga tersebut, sebagaimana dikutip dari eco-business.com pada Kamis (24/04/2025)
Dengan investasi energi bersih yang masih jauh dari kebutuhan dan kebijakan yang belum memadai, kawasan ini tampak belum siap menjawab tuntutan global.
Meski menandatangani berbagai komitmen internasional, Filipina menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak mengalami peningkatan porsi energi terbarukan antara 2015 dan 2023. Selama periode itu, batu bara justru mendominasi tambahan kapasitas listrik nasional.
Skema tarif feed-in (FIT) sempat mendorong minat investor hingga 2019, namun regulasi tak konsisten dan lemahnya kapasitas kelembagaan menghambat ekspansi proyek.
Dua tahun terakhir, FIlipina memperkenalkan sistem lelang kompetitif melalui Green Energy Auction Programme (GEAP), yang di putaran terbarunya menawarkan kapasitas 10.478 megawatt (MW) Kini, setidaknya ada 57 GW proyek energi surya dan angin dalam tahap prospektif. Namun, realisasi dari pipa proyek tersebut masih jauh dari pasti.
Baca juga: Desentralisasi Energi Baru Terbarukan di Desa
Dua negara ini menghadapi stagnasi pengembangan infrastruktur energi bersih. Malaysia tidak mencatatkan peningkatan kapasitas energi terbarukan antara 2022 dan 2023. Padahal, sejak 2021, aliran investasi hijau telah meningkat.
Kementerian Energi Malaysia mencoba memperluas infrastruktur melalui peta jalan transisi energi nasional, namun kendala teknis dan birokratis memperlambat realisasi proyek.
Thailand juga tidak jauh berbeda. Meskipun menargetkan 10 GW panel surya atap pada 2037, implementasi kebijakan di lapangan dihambat sengketa hukum dan tender yang tidak transparan. Kasus gugatan terhadap proses seleksi proyek angin 2022 menunjukkan bahwa masalah tata kelola masih menjadi hambatan utama.
Vietnam sempat memimpin transisi energi di Asia Tenggara pada 2018–2020 dengan lonjakan proyek surya dan angin. Namun, pembekuan proyek sejak 2021 akibat represi politik dan kekacauan regulasi menyebabkan pelaku industri hijau hengkang.
Baru-baru ini, pemerintah menyetujui revisi Rencana Pengembangan Energi Nasional dengan alokasi investasi hingga 136 miliar dollar AS untuk menjadikan tenaga surya sebagai sumber utama menggantikan batu bara. Tapi momentum yang hilang dan kepercayaan investor yang menipis menjadi tantangan besar.
Sebagai produsen batu bara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menghadapi kontradiksi tajam. Di satu sisi, Presiden Prabowo mengumumkan rencana penghentian pembangkit fosil sebelum 2040. Namun di sisi lain, pembangunan pembangkit batu bara baru tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan industri off-grid.
Just Energy Transition Partnership (JETP) atau Transisi Energi yang Adil yang diteken Indonesia belum memberi dampak signifikan. Tekanan finansial, dominasi pinjaman ketimbang hibah, dan belum adanya kerangka kerja transisi yang kuat menjadikan pelaksanaan JETP diragukan.
Baca juga: Politik Buruk Menyusahkan Bumi, Picu Kemunduran Transisi Energi
Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup sempat mempertanyakan relevansi JETP dan Perjanjian Paris bagi Indonesia, menyoroti ketimpangan historis emisi antara negara maju dan berkembang.
Meskipun kecil secara geografis dan minim sumber daya energi domestik, Singapura mencatatkan kemajuan signifikan dalam transisi energi bersih.
Negara kota ini adalah satu-satunya di Asia Tenggara yang berhasil mencatat peningkatan tahunan sebesar 16 persen dalam kapasitas energi terbarukan—angka yang memenuhi ambisi global pelipatgandaan kapasitas energi bersih hingga 2030.
Dalam pembaruan kontribusi nasionalnya (Nationally Determined Contributions/NDC) tahun ini, Singapura menegaskan kembali target untuk mencapai 2 GW kapasitas tenaga surya terpasang pada 2030.
Namun dengan keterbatasan lahan dan kebutuhan energi yang terus meningkat, tenaga surya domestik hanya menjadi bagian kecil dari strategi dekarbonisasi negara tersebut.
Baca juga: Pemerintah Akan Terus Kembangkan Energi Baru Masa Depan
Untuk mengisi kesenjangan tersebut, Singapura berencana mengimpor hingga 6 GW listrik rendah karbon dari negara-negara tetangganya.
Impor ini harus memiliki intensitas emisi tiga kali lebih rendah dari rata-rata global saat ini, meskipun angka tersebut masih tiga kali lebih tinggi dibanding standar ilmiah yang sesuai dengan upaya membatasi pemanasan global hingga 1,5°C sesuai Perjanjian Paris.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya