Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh Samsul Arifin
Broadcaster Journalist

Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data

Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi

Kompas.com - 25/04/2025, 10:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TREN dan kesadaran hijau sedang memimpin perubahan dunia. Tahun 2024 lalu, pertumbuhan penjualan kendaraan listrik--battery electric vehicle (BEV) dan hibrida plug-in (PHEV)--melonjak 26,1 persen dibandingkan tahun 2023.

BYD, merk dari China, melejit dengan penjualan 3,84 juta unit kendaraan atau mencaplok lebih dari seperlima pasar sehingga berada di urutan pertama penguasa kendaraan listrik global. BYD melampaui Tesla dari Amerika Serikat yang hanya merebut 10,3 persen pasar.

Sementara Wuling, Li Auto, Geely, Aito dan Aion juga kompak mengibarkan panji-panji China.

Enam perusahaan China ini nangkring di sepuluh besar dengan merampas penguasaan hingga 36,3 persen. Ini mengokohkan China sebagai produsen kendaraan listrik paling serius.

China di bawah Presiden Xi Jinping juga memimpin perlombaan migrasi ke energi terbarukan, terutama energi surya dan energi angin, kendati di saat bersamaan "digandoli" ketergantungan terhadap listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang bersumber dari batu bara.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengonfirmasi tren global. Bukan sulap, bukan sihir kalau penjualan mobil listrik di Indonesia tumbuh 161 persen pada 2024. Lagi-lagi BYD dan Wuling merajai dan diganggu oleh Hyundai (Kompas.com, 17 Januari 2025).

Baca juga: Politik Energi Menuju Konservatif

Sekarang, kita makin sering menjumpai mobil listrik di kota-kota besar di Tanah Air. Walau penjualan mobil listrik berbasis baterei (BEV) masih 44.557 unit, ini menegaskan satu kondisi: migrasi ke kendaraan listrik makin membesar di tingkat individu dan komunal.

Bagaimanapun tren digerakkan oleh individu dalam jumlah terbatas. Dari sana ia menular dan memengaruhi invididu lain serta komunitas.

Saya teringat kampanye PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tahun 2023 lalu. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menegaskan beralih dari kendaraan yang mengonsumsi bahan bakar fosil ke kendaraan listrik akan mengurangi emisi karbon sebesar 56 persen.

Ekonom Energi jebolan Texas A&M University serta Duke University itu punya hitung-hitungan. Menurut dia, satu liter BBM setara 1,2 kilowatt jam (kWh) listrik.

Emisi karbon dari satu liter BBM kira-kira 2,4 kilogram CO2 ekuivalen. Adapun emisi 1,2 kWh listrik cuma 1,02 kilogram CO2 ekuivalen.

Emisi tadi dengan menyadari bahwa listrik PLN mayoritas berasal dari PLTU batu bara. Maka orang nomor satu PLN itu menambahkan, "seiring dengan pembangkit PLN yang akan menuju ke EBT (energi baru dan terbarukan), maka ke depan emisi kendaraan listrik akan nol" (pln.co.id, 26 Februari 2023).

Kendaraan listrik yang ramah lingkungan memang mensyaratkan sumber listrik dari energi terbarukan (renewable energy). Inilah tantangan di hilir ekosistem kendaraan listrik.

Tantangan lain tak kurang pelik dan rumit, dari infrastruktur stasiun pengisian baterai listrik hingga limbah baterai yang harus dikelola dengan memadai agar tidak merusak lingkungan.

Limbah baterai ini pekerjaan rumah yang terus menghantui kendaraan listrik. Beda sekali dengan kendaraan berbahan bakar fosil yang nol limbah, tapi sangat mengotori atmosfer dengan emisi gas rumah kaca.

Baca juga: Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau