KOMPAS.com - Gedung Putih Amerika Serikat mempertimbangkan executive order untuk mempercepat pelaksanaan pertambangan laut dalam di area perairan internasional.
Informasi tersebut diwartakan Reuters pada Selasa (1/4/2025) dari dua sumber terpercaya yang punya pengetahuan mendalam tentang masalah tersebut.
Langkah tersebut, jika disetujui, akan menandai strategi baru Trump untuk memenuhi kebutuhan nikel, tembaga, dan mineral kritis lainnya secara mandiri.
Pertambangan laut dalam di perairan internasional sebenarnya diatur International Seabed Authority (ISA) berdasarkan United Nations Convention of the Law of the Sea.
Sayangnya, AS tak meratifikasi perjanjian tersebut. Plus, standar keamanan pertambangan yang telah dibahas bertahun-tahun juga tak kunjung membuahkan kesepakatan.
Di sisi lain, produksi dan pengolahan mineral kritis seperti nikel saat ini didominasi oleh China.
Bagi AS, masalah muncul ketika Beijing mulai memblokir ekspor mineral kritis untuk kebutuhan militer, selain AS yang lama geram dengan dominasi China.
Baca juga: Kemenkop Bakal Seleksi Koperasi Penerima Konsesi Tambang
Executive order yang dibahas, dengan demikian, menandai trik AS untuk lepas dari dominasi China.
Dengan strategi itu, AS mencoba-coba apakah mereka bisa menambang di perairan internasional dengan persetujuan Department of Commerce di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), bukan lewat ISA.
Reuters dalam berita terbarunya menyatakan bahwa Gedung Putih belum merespon permintaan penjelasan.
Pertambangan laut dalam secara umum lebih kompleks daripada di daratan.
Industri mengklaim, dampak lingkungan pertambangan laut dalam akan lebih kecil. Namun, kalangan aktivis lingkungan menyatakan bahwa pertambangan itu akan sangat berbahaya bagi makhluk hidup laut dan sejauh ini belum ada kajian potensi dampaknya.
Negara yang berminat pada eksplorasi tambang laut dalam antara lain Cook Islands, Norwegia, dan Jepang.
36 negara anggota ISA telah bertemu awal Februari 2025 untuk membahas usulan perubahan pada draft aturan pertambangan laut dalam yang setebal 256 halaman. Pertemuan berakhir tanpa kesepakatan.
Jika AS kelak melakukannya, Indonesia akan mendapatkan tantangan dalam hilirisasi nikelnya.
Baca juga: Tambang Laut Dalam Rusak Lingkungan, 40 Tahun Belum Pulih
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya