KOMPAS.com — Untuk pertama kalinya, emisi karbon di Tiongkok mengalami penurunan meskipun permintaan listrik terus meningkat.
Fenomena itu dipicu oleh lonjakan produksi energi terbarukan, menandai tonggak penting dalam transisi energi negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia tersebut
Analis utama sekaligus salah satu pendiri Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) di Finlandia, Lauri Myllivirta, menyebut pencapaian ini sebagai titik balik penting.
Menurut data dari Carbon Brief, pertumbuhan pembangkit listrik bersih di Tiongkok kini melampaui rata-rata pertumbuhan permintaan listrik, memungkinkan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil.
“Penurunan ini adalah yang pertama kalinya terjadi, dan didorong utama oleh pertumbuhan pembangkit listrik bersih,” ujar Lauri, dikutip dari EcoWatch pada Senin (19/5/2025).
Baca juga: Studi: Perusahaan China Bangun 7,7 GW PLTU Batu Bara di Indonesia
Pada kuartal pertama 2025, permintaan listrik di Tiongkok naik 2,5 persen. Namun, pembangkitan dari sumber termal—mayoritas batu bara dan gas—turun 4,7 persen. Sementara itu, kapasitas baru dari tenaga surya, angin, dan nuklir berhasil menurunkan emisi karbon hingga 1,6 persen.
“Pasokan listrik dari tenaga angin, surya, dan nuklir yang baru cukup untuk mengurangi produksi listrik dari batu bara, bahkan ketika permintaan meningkat. Ini berbeda dengan penurunan sebelumnya yang disebabkan oleh lemahnya pertumbuhan,” jelas Lauri.
Tiongkok telah membangun kapasitas tenaga surya dan angin hampir dua kali lipat dari total gabungan negara-negara lain. Emisi sektor kelistrikan turun sebesar 5,8 persen, menyeimbangkan lonjakan emisi dari sektor kimia dan logam berbasis batu bara.
Namun, Lauri mengingatkan bahwa penurunan emisi tersebut hanya satu persen di bawah puncak terakhir, sehingga lonjakan permintaan jangka pendek bisa mendorong emisi kembali naik. Negara ini juga masih tertinggal dari target pengurangan intensitas karbon sebesar 65 persen pada akhir dekade ini, dibanding tingkat tahun 2005.
Baca juga: Inisiatif China yang Wajib Ditiru, Bangkitkan Listrik Hijau lewat Restorasi Ekosistem
“Perjalanan emisi CO? Tiongkok ke depan masih belum pasti. Ini sangat bergantung pada tren di masing-masing sektor ekonomi serta respons negara terhadap kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump,” tambah Lauri.
Meski begitu, Tiongkok tetap memimpin dunia dalam pengembangan energi terbarukan. Di sisi lain, Trump justru mendorong peningkatan ekstraksi bahan bakar fosil.
Batu bara tetap dominan dalam bauran energi Tiongkok. Menurut laporan Global Energy Monitor dan CREA, pada 2024 saja, negara ini memulai proyek pembangkit listrik batu bara dengan kapasitas 94,5 gigawatt, atau 93 persen dari proyek global. Sebagian besar diperkirakan hanya akan digunakan sebagai cadangan.
Pada April 2025, kapasitas tenaga surya dan angin Tiongkok untuk pertama kalinya melampaui kapasitas termal.
Lauri menyebutkan bahwa puncak emisi kemungkinan juga terjadi di sektor konsumsi minyak, baja, dan bahan bangunan—yang bersama-sama menyumbang lebih dari 80 persen emisi CO2 dari bahan bakar fosil.
“Semua ini menunjukkan adanya potensi bagi emisi Tiongkok untuk terus menurun dan mencapai pengurangan emisi absolut yang signifikan dalam lima tahun ke depan. Namun, kebijakan yang bergerak ke arah sebaliknya juga bisa dengan mudah mendorong emisi meningkat lagi menjelang tahun 2030,” simpul Lauri.
Baca juga: Inggris Galau, Haruskah Libatkan China dalam Proyek Energi Angin Raksasa?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya