Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Nenengisme dan Kegagalan Komunikasi Iklim

Kompas.com - 21/05/2025, 15:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di tengah diskusi perubahan iklim yang seringkali bernuansa muram dan berat, satire berbalut humor bisa menjadi cara ampuh menyampaikan pesan yang tetap lugas, namun tidak menggurui.

Belajar komunikasi dari Neneng

Komunikasi iklim sering terjebak sebagai upaya menyampaikan informasi dari pihak “yang lebih tahu” kepada publik, termasuk masyarakat adat atau warga desa. Padahal kita lah yang seharusnya belajar dari mereka. Masyarakat adat punya kearifan lokal dan sudah lama terbukti menjaga keberlanjutan—bahkan sebelum istilah “sustainability” ramai digunakan.

Baca juga: Krisis Iklim, Eropa Berpotensi Endemik DBD dan Chikungunya

Komunikasi bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, tapi juga proses membangun dialog dan partisipasi. Karena itu, kita perlu memahami pandangan dunia mereka, serta konteks sosial, psikologis, dan ekonominya agar bisa relevan dengan masyarakat.

Bahasa Neneng menyingkap kegagalan komunikasi kita menjangkau akar rumput, sehingga potensi “Nenengisme” untuk mengubah cara komunikasi lingkungan layak digali.

Fenomena ini mengingatkan bahwa kampanye yang efektif harus berangkat dari bahasa, nilai, dan realitas masyarakat yang dituju—bukan sekadar menerjemahkan istilah ilmiah ke bahasa lokal. Kita perlu mengakui bahwa pengetahuan lingkungan bersumber dari kearifan lokal dan pengalaman hidup sehari-hari, bukan hanya dari jurnal dan laboratorium.

Untuk mencapai perubahan nyata, kita harus mengangkat masalah ketidakadilan struktural dalam narasi lingkungan. Masyarakat akar rumput bukan tidak memahami berbagai persoalan krisis iklim, tapi mereka tersandera dalam sistem yang membatasi pilihan.

Penting bagi kita untuk menempatkan mereka sebagai subjek aktif dalam mengatasi krisis lingkungan, bukan sekadar objek kampanye. Mereka tahu tanggung jawab menjaga lingkungan seharusnya dipikul lebih besar oleh industri dan pembuat kebijakan. Tapi mereka juga tahu, kekuasaan tak berpihak pada mereka.

Inilah esensi dari komunikasi lingkungan yang membumi: peka terhadap realitas sosial, memberi ruang partisipasi, dan membuka jalan bagi solusi yang mempertimbangkan realitas kehidupan masyarakat. Dan sepertinya kita bisa belajar dari Neneng Rosdiyana yang sudah sukses melakukannya.

*   PhD Candidate di University of Queensland

** PhD Candidate di Australian National University 

Baca juga: Perubahan Iklim Pengaruhi Kesehatan Ibu Hamil

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau