JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Safrizal Z A, mengatakan pendanaan perubahan iklim hanya 4,3 persen dari APBN.
Setiap tahun pemerintah mengalokasikan anggaran perubahan iklim rata-rata sebesar Rp 102,65 triliun. Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 pemerintah menempatkan perubahan iklim sebagai salah satu isu yang diprioritaskan.
"Tentu kami berharap setiap tahun anggaran untuk penanganan climate change bisa meningkat, tidak terbatas maksimum kepada 4,37 persen. Kami berharap APBD bisa support lebih daripada maksimum 4,3 persen," ujar Safrizal dalam Climate Resilience and Innovation Forum 2025, di Jakarta Pusat, Rabu (21/5/2025).
Safrizal mengakui, pendanaan untuk krisis iklim itu masih jauh dari cukup. Oleh sebab itu, pemerintah terus berupaya mendapatkan tambahan pembiayaan dari berbagai pihak termasuk melalui program Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC).
Baca juga: Studi: Kemiskinan Global Bisa Diakhiri tanpa Mengorbankan Iklim
CRIC merupakan program kerja sama berbagai negara dan sebagian didanai melalui hibah Uni Eropa untuk meningkatkan kapasitas kota di Asia Tengara dalam menghadapi perubahan iklim.
Di Indonesia, program tersebut dilaksanakan di 10 kota antara lain Pekanbaru, Bandar Lampung, Pangkal Pinang, Cirebon, Mataram, Banjarmasin, Samarinda, Gorontalo, Kupang, serta Ternate. Safrizal mencontohkan, Samarinda kini menghadapi tantangan iklim ekstrem berupa kekeringan dan banjir.
"Di Samarinda terjadi pengalihan fungsi kawasan yang berlebihan, kurangnya kepedulian warga kota, kurangnya sistem pengontrol banjir. Ini yang kami bantu terus, karena kalau musim kemarau kering sekali. Kalau basah, basah sekali," tutur Safrizal.
Selain itu banyak terjadi aktivitas pembakaran lahan ilegal di Samarinda. Safrizal lantas meminta agar Pemkot Samarinda bisa mengatasi praktik tersebut.
Baca juga: Potensi Green Zakat Capai Rp 327 T per Tahun, Bisa untuk Dana Iklim
"Di CRIC program, beberapa hal direkomendasikan untuk Samarinda. Pertama, dilakukan pengembangan kapasitas sumber daya internal yang bekerja secara berkala," tutur Safrizal.
"Evaluasi dan pemantauan berkelanjutan untuk memastikan bahwa setiap tindakan sesuai target dan sejalan dengan pencapaian SDGs konsisten. Sehingga juga sejalan dengan target SDGs, dengan memperkuat koordinasi antar institusi," imbuh dia.
Rekomendasi selanjutnya, investasi infrastruktur untuk penanggulangan bencana. Kata dia, alokasi anggaran cukup untuk penanganan bencana.
Ketiga, melakukan evaluasi tahunan terhadap rencana aksi rantai iklim dengan mempertimbangkan paparan kapasitas adaptif dan kepekaan untuk rancangan program jika diperlukan.
Baca juga: Regulator Perbankan Global Kompak Atasi Risiko Iklim
Keempat, pendidikan berbasis iklim perlu diterapkan pada individu. Selanjutnya, rencana aksi perubahan iklim harus berpihak pada kelompok rentan yang sangat terdampak.
"Kemudian, ketersediaan data rantai yang akurat sangat penting, memerlukan sistem komunikasi digital data nomor satu. Harus terus diperbaiki, kadang-kadang data tidak akurat," ucap dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya