KOMPAS.com - Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan bahwa sudah saatnya untuk memberikan peringatan serius mengenai potensi kekurangan logam-logam yang sangat dibutuhkan untuk transisi menuju ekonomi rendah karbon di masa depan.
Pasalnya menurut IEA, permintaan tembaga yang sangat dibutuhkan untuk mencapai ekonomi rendah karbon akan melebihi pasokan yang tersedia dalam kurun waktu satu dekade ke depan.
Jika tidak ada tindakan serius yang dilakukan sekarang, pasokan tembaga yang merupakan komponen kunci dalam setiap bentuk sistem energi listrik saat ini akan kekurangan sebesar 30 persen dari jumlah yang dibutuhkan pada tahun 2035.
"Ini akan menjadi tantangan besar. Sudah waktunya untuk membunyikan alarm," kata Fatih Birol, direktur eksekutif IEA.
Baca juga: Logam Beracun Cemari 15 Persen Lahan Pertanian Dunia
Untuk mengatasi potensi kekurangan logam penting seperti tembaga dan kerentanan rantai pasokan, negara-negara maju harus berinvestasi dan bekerja sama dengan negara-negara berkembang untuk mendistribusikan kapasitas pemurnian logam secara lebih merata di seluruh dunia.
Saat ini mineral penting yang diperlukan untuk pembuatan panel surya dan turbin angin, serta mengubah sistem energi global, sebagian besar dimurnikan di China, meskipun ditambang di banyak lokasi, termasuk Afrika, Australia, dan Amerika Latin.
China juga memproses lebih dari 70 persen dari rata-rata 20 mineral teratas dunia yang dibutuhkan dalam industri energi.
Birol pun mengatakan lebih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan pasokan mineral penting jika dunia ingin beralih ke ekonomi rendah karbon.
“Diversifikasi adalah kuncinya. Inggris, Eropa, Jepang, AS, Korea Selatan memiliki teknologinya. Afrika, Amerika Latin punya sumber dayanya. Bisa jadi ada kerja sama internasional antarnegara,” katanya dikutip dari Guardian, Jumat (23/5/2025).
Mengembangkan industri pemurnian logam seperti tembaga dan memperkuat hubungan dagang di berbagai negara akan mendiversifikasi pasokan global.
Ini berarti pasokan tidak lagi terkonsentrasi di satu atau beberapa negara saja, sehingga dapat mencegah kemacetan dalam rantai pasokan dan kenaikan harga yang signifikan.
Kenaikan biaya akibat kelangkaan logam akan menjadi hambatan utama, untuk transisi menuju ekonomi hijau.
Baca juga: MIND ID-PT Timah Kembangkan Proyek Logam Tanah Jarang
Kekurangan atau gangguan pasokan mineral-mineral vital dapat memicu efek domino ekonomi yang negatif, mulai dari biaya hidup yang lebih tinggi bagi masyarakat hingga kerugian ekonomi dan daya saing bagi sektor industri.
"Dampak dari guncangan pasokan mineral kritis dapat sangat luas, menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen dan mengurangi daya saing industri," tulisan laporan IEA.
Dalam hal ini tembaga harus menjadi perhatian utama karena rata-rata dibutuhkan waktu 17 tahun dari penemuan endapan baru hingga produksi logam.
Namun, Fatih Birol menyatakan bahwa jika pemerintah segera mengambil tindakan cepat, mereka dapat mengurangi proyeksi kekurangan pasokan tembaga.
Misalnya dengan mempercepat proyek tambang baru, meningkatkan daur ulang tembaga, dan mencari substitusi dengan logam lain seperti aluminium, sehingga dampak kelangkaan dapat dikurangi secara signifikan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya