KOMPAS.com-Kobalt bukan hanya sekedar bahan tetapi merupakan bagian penting untuk banyak teknologi modern, khususnya dalam baterai lithium-ion, yang digunakan mulai dari smartphone hingga baterai mobil listrik.
Kobalt meningkatkan stabilitas termal baterai, mencegahnya dari panas berlebih dan potensi kebakaran, serta memperpanjang umur pakainya. Ini sangat krusial untuk keamanan dan kinerja perangkat elektronik dan kendaraan listrik.
Dan beberapa puluh tahun terakhir, permintaan kobalt meningkat sangat pesat. Ini didorong oleh revolusi teknologi, terutama pertumbuhan pesat pasar smartphone dan, belakangan ini, booming kendaraan listrik dan energi terbarukan.
Namun pertumbuhan pesat tersebut ternyata menyimpan sisi gelap produksi kobalt.
Republik Demokratik Kongo (DRC) adalah negara dengan cadangan kobalt terbesar di dunia, menguasai lebih dari 50 persen cadangan global dan menyumbang sekitar 70-80 persen produksi kobalt dunia.
Kendati demikian Kongo justru menghadapi konsekuensi berat dari penambangannya sementara dunia Barat menikmati teknologi yang ditenagai kobalt.
Baca juga: Indonesia Alami Krisis Lingkungan, Bagaimana Harus Kampanye ke Gen Z?
Melansir Earth.org, seiring elektrifikasi sistem energi global yang semakin pesat dari tahun ke tahun, permintaan kobalt mengalami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pada tahun 2021, pasar tumbuh sebesar 22 persen dan diperkirakan akan naik sebesar 13 persen per tahun setidaknya selama lima tahun ke depan.
Karena itu, tambang baik yang legal maupun ilegal telah muncul di seluruh negeri, dan mengancam hutan hujan tropis yang masih asli.
Karena ukurannya yang sangat luas dan keanekaragaman hayatinya yang kaya, para ahli ilmiah menyebut Hutan Cekungan Kongo sangat penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Peran krusial Hutan Cekungan Kongo adalah sebagai penyerap karbon dari atmosfer sehingga mengurangi jumlah gas rumah kaca di udara.
Sebagai informasi, dunia memiliki tiga hutan hujan tropis terbesar yang tersisa aitu Hutan Amazon, Hutan Hujan Asia Tenggara, dan Hutan Cekungan Kongo.
Sulit untuk mengetahui secara pasti seberapa luas area Hutan Cekungan Kongo yang telah gundul karena tambang kobalt.
Meskipun sulit mengukur angka pastinya, ada perkiraan bahwa jutaan pohon telah ditebang habis oleh perusahaan pertambangan raksasa.
Citra satelit, yang memberikan gambaran dari atas, menunjukkan bahwa area-area yang dulunya merupakan hutan yang kaya keanekaragaman hayati kini telah menjadi tanah tandus atau gurun kosong.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya