KOMPAS.com — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa lokasi tambang tidak berada di destinasi pariwisata Piaynemo, Raja Ampat, melainkan berjarak kurang lebih 30–40 kilometer.
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak: dengan jarak 30–40 kilometer, apakah keanekaragaman hayati yang menjadi wajah Raja Ampat lantas tidak terancam?
Menanggapi hal itu, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN, Andes Hamuraby Rozak, mengatakan bahwa lingkungan tidak bisa dipisah-pisahkan. Menurutnya, lingkungan merupakan sistem yang saling berkesinambungan.
“Kehidupan itu merupakan sebuah sistem yang saling terhubung satu sama lain. Sesuatu yang kecil akan mempengaruhi yang besar. Begitu pun kerusakan kecil karena pertambangan di suatu tempat akan tetap memberikan dampak besar pada keanekaragaman hayati secara luas,” ujar Andes kepada Kompas.com, Senin (9/6/2025).
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa jika hanya difokuskan agar tidak merusak kawasan wisata, mungkin benar kawasan wisata tidak akan terdampak secara langsung dan dalam waktu cepat dengan jarak 30–40 kilometer. Namun, jika berbicara soal keanekaragaman hayati, tidak sesederhana itu.
Baca juga: Terbukti, Ada Kolam Limbah Tambang Nikel Raja Ampat Jebol dan Cemari Laut
“Kawasan nonwisata juga penting bagi keanekaragaman hayati. Bisa jadi keanekaragaman hayati yang ada di sekitar tambang lebih tinggi dibandingkan kawasan wisata,” ujar Andes.
Apalagi, menurut Andes, penelitian tentang keanekaragaman hayati di Papua—khususnya Raja Ampat—belum semasif di Sumatera atau Kalimantan. Masih banyak potensi kekayaan alam Papua yang belum tergali dan ini terancam rusak sebelum identifikasi dilakukan oleh akibat dari aktivitas tambang.
“Beberapa ahli menyampaikan bahwa pendataan keanekaragaman hayati yang ada di Raja Ampat bisa memerlukan waktu hingga 100 tahun,” jelas Andes.
Selain itu, Andes mengatakan bahwa Pulau Gag yang kini ramai diperbincangkan juga memiliki spesies endemik yang berharga, yakni Palem Raja Ampat. Spesies palem raksasa ini hanya tumbuh di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag.
“Adanya aktivitas pertambangan, juga mengancam kelestarian Palem Raja Ampat,” ujar Andes.
Maka, menurut Andes, keanekaragaman hayati Raja Ampat secara keseluruhan tetap terancam oleh adanya pertambangan, terlepas dari apakah wilayah wisatanya terdampak langsung atau tidak.
Lebih jauh, ia mengatakan, jika satu tempat mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan, hanya soal waktu sebelum tempat-tempat lain ikut terkena dampaknya.
“Katakanlah, hanya lingkungan yang menjadi lahan pertambangan mengalami pencemaran kualitas air laut atau terumbu karangnya tertutupi sedimen. Namun, air itu mengalir. Saat terjadi hujan besar, misalnya, itu akan membawa serta faktor-faktor pencemar ke area-area lain dan lama-kelamaan bisa sampai juga pada area yang berjarak 30–40 kilometer. Sama seperti kebakaran hutan di Kalimantan, lama-kelamaan asapnya sampai ke Singapura,” jelas Andes.
Baca juga: Sederet Pelanggaran 4 Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya