KOMPAS.com — Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan dari BRIN, Andes Hamuraby Rozak, mengatakan bahwa aktivitas pertambangan di sekitar kawasan Raja Ampat berpotensi merusak ekosistem laut melalui sedimentasi dan pencemaran.
Dampaknya mungkin tidak langsung terlihat, namun dalam jangka panjang, kerusakan yang ditimbulkan bisa mengganggu keberlangsungan terumbu karang dan habitat ikan.
“Dalam jangka pendek akan terasa ketika musim hujan tiba. Air hujan yang turun akan mengalirkan sisa-sisa dari produksi tambang, yang terlihat langsung pada kualitas warna air di laut,” ujar Andes kepada Kompas.com, Senin (9/6/2025).
Sedimentasi yang terbawa ini pada akhirnya akan mengendap dan menutup permukaan terumbu karang. Hal ini menghambat masuknya sinar matahari yang sangat dibutuhkan terumbu untuk bertahan hidup.
“Sedimentasi yang mengendap, akan menutupi terumbu karang. Terumbu karang terhalangi dari sinar matahari akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini akan mengakibatkan ikan bermigrasi ke tempat-tempat baru karena habitat awalnya rusak,” jelasnya.
Menurut Andes, layaknya makhluk hidup pada umumnya, ikan juga memiliki naluri bertahan hidup dan akan berpindah ke wilayah lain yang masih layak huni. Namun, tidak semua spesies mampu bermigrasi dalam jarak jauh.
“Malangnya, ikan-ikan yang tidak mampu bermigrasi jauh akhirnya akan mati—entah di perjalanan atau di habitat lamanya yang sudah rusak karena sedimentasi dari pertambangan,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hal ini, jika terjadi dalam jangka panjang dapat mengancam biodiversitas yang saat ini sangat berlimpah di Raja Ampat.
Baca juga: KLH Dalami Kerusakan Lingkungan akibat Aktivitas Tambang di Raja Ampat
Dalam jangka panjang, boleh jadi keanekaragaman hayati Raja Ampat akan hilang sebelum bisa dideskripsikan.
“Beberapa ahli menyampaikan bahwa pendataan keanekaragaman hayati yang ada di Raja Ampat bisa memerlukan waktu hingga 100 tahun,” jelas Andes.
Andes mengatakan bahwa Pulau Gag yang kini ramai diperbincangkan juga memiliki spesies endemik yang berharga, yakni Palem Raja Ampat. Spesies palem raksasa ini hanya tumbuh di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag.
“Adanya aktivitas pertambangan, juga mengancam kelestarian Palem Raja Ampat,” ujar Andes.
Andes juga menyoroti aspek pencemaran limbah. Meskipun ada teknologi pengolahan air limbah seperti IPAL untuk memastikan air yang dikembalikan ke laut bersih, tetapi menurutnya potensi terjadi pencemaran tetap ada.
“Jika kolam limbah tinggi kandungan polutannya, air laut bisa juga tercemar,” katanya.
Oleh sebab itu, Andes menegaskan pentingnya menjaga laut Raja Ampat, mengingat kawasan tersebut tidak hanya kaya akan ekosistem lautnya, tetapi juga merupakan pusat keanekaragaman terumbu karang dunia.
“Raja Ampat ini adalah surganya terumbu karang dunia. 75 persen spesies terumbu karang ditemukan di sini. Kerusakan akibat sedimentasi dan polutan dari aktivitas tambang bukan hanya kehilangan bagi Indonesia, tetapi juga kehilangan bagi dunia,” ucapnya.
Dampak jangka panjang dari sedimentasi dan pencemaran akibat tambang menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal keberlanjutan ekosistem global. Maka, menjaga kelestarian Raja Ampat adalah hal yang penting. Menjaga laut Raja Ampat berarti menjaga warisan bumi yang tidak tergantikan.
Baca juga: Terbukti, Ada Kolam Limbah Tambang Nikel Raja Ampat Jebol dan Cemari Laut
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya