Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tambang Nikel Raja Ampat, Peneliti BRIN Ungkap Dampak Jangka Pendek dan Panjangnya

Kompas.com - 10/06/2025, 06:11 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan dari BRIN, Andes Hamuraby Rozak, mengatakan bahwa aktivitas pertambangan di sekitar kawasan Raja Ampat berpotensi merusak ekosistem laut melalui sedimentasi dan pencemaran.

Dampaknya mungkin tidak langsung terlihat, namun dalam jangka panjang, kerusakan yang ditimbulkan bisa mengganggu keberlangsungan terumbu karang dan habitat ikan.

“Dalam jangka pendek akan terasa ketika musim hujan tiba. Air hujan yang turun akan mengalirkan sisa-sisa dari produksi tambang, yang terlihat langsung pada kualitas warna air di laut,” ujar Andes kepada Kompas.com, Senin (9/6/2025).

Sedimentasi yang terbawa ini pada akhirnya akan mengendap dan menutup permukaan terumbu karang. Hal ini menghambat masuknya sinar matahari yang sangat dibutuhkan terumbu untuk bertahan hidup.

“Sedimentasi yang mengendap, akan menutupi terumbu karang. Terumbu karang terhalangi dari sinar matahari akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini akan mengakibatkan ikan bermigrasi ke tempat-tempat baru karena habitat awalnya rusak,” jelasnya.

Menurut Andes, layaknya makhluk hidup pada umumnya, ikan juga memiliki naluri bertahan hidup dan akan berpindah ke wilayah lain yang masih layak huni. Namun, tidak semua spesies mampu bermigrasi dalam jarak jauh.

“Malangnya, ikan-ikan yang tidak mampu bermigrasi jauh akhirnya akan mati—entah di perjalanan atau di habitat lamanya yang sudah rusak karena sedimentasi dari pertambangan,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hal ini, jika terjadi dalam jangka panjang dapat mengancam biodiversitas yang saat ini sangat berlimpah di Raja Ampat.

Baca juga: KLH Dalami Kerusakan Lingkungan akibat Aktivitas Tambang di Raja Ampat

Dalam jangka panjang, boleh jadi keanekaragaman hayati Raja Ampat akan hilang sebelum bisa dideskripsikan. 

“Beberapa ahli menyampaikan bahwa pendataan keanekaragaman hayati yang ada di Raja Ampat bisa memerlukan waktu hingga 100 tahun,” jelas Andes.

Andes mengatakan bahwa Pulau Gag yang kini ramai diperbincangkan juga memiliki spesies endemik yang berharga, yakni Palem Raja Ampat. Spesies palem raksasa ini hanya tumbuh di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag.

“Adanya aktivitas pertambangan, juga mengancam kelestarian Palem Raja Ampat,” ujar Andes.

Andes juga menyoroti aspek pencemaran limbah. Meskipun ada teknologi pengolahan air limbah seperti IPAL untuk memastikan air yang dikembalikan ke laut bersih, tetapi menurutnya potensi terjadi pencemaran tetap ada.

“Jika kolam limbah tinggi kandungan polutannya, air laut bisa juga tercemar,” katanya.

Oleh sebab itu, Andes menegaskan pentingnya menjaga laut Raja Ampat, mengingat kawasan tersebut tidak hanya kaya akan ekosistem lautnya, tetapi juga merupakan pusat keanekaragaman terumbu karang dunia.

“Raja Ampat ini adalah surganya terumbu karang dunia. 75 persen spesies terumbu karang ditemukan di sini. Kerusakan akibat sedimentasi dan polutan dari aktivitas tambang bukan hanya kehilangan bagi Indonesia, tetapi juga kehilangan bagi dunia,” ucapnya.

Dampak jangka panjang dari sedimentasi dan pencemaran akibat tambang menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal keberlanjutan ekosistem global. Maka, menjaga kelestarian Raja Ampat adalah hal yang penting. Menjaga laut Raja Ampat berarti menjaga warisan bumi yang tidak tergantikan.

Baca juga: Terbukti, Ada Kolam Limbah Tambang Nikel Raja Ampat Jebol dan Cemari Laut

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Menteri LH Desak Pembenahan Lingkungan di Kawasan Industri Pulogadung
Menteri LH Desak Pembenahan Lingkungan di Kawasan Industri Pulogadung
Pemerintah
Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
LSM/Figur
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Pemerintah
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Pemerintah
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
LSM/Figur
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Pemerintah
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Pemerintah
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Pemerintah
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
LSM/Figur
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pemerintah
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Swasta
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Pemerintah
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Pemerintah
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BUMN
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau