KOMPAS.com - Ketika Israel menyerang Iran, pasar energi di seluruh dunia menahan napas. Pasalnya, harga acuan minyak mentah Brent, yang sering dianggap sebagai tolok ukur risiko geopolitik, naik ke puncaknya di 81,40 dollar AS.
Investor juga sangat cemas karena AS terlibat langsung di dekat Selat Hormuz, jalur penting yang dilewati 20 persen pasokan minyak dunia.
Namun, Henok Asmelash, seorang profesor hukum di Birmingham Law School, Inggris melihat bahwa geopolitik yang memengaruhi pasokan semacam itu justru bisa menjadi momen mendorong negara-negara pengimpor minyak dan gas untuk mempercepat peralihan mereka menuju sumber energi yang lebih bersih.
Baca juga: Transisi Energi Terbarukan yang Adil Tingkatkan PDB Global 21 Persen
"Ketika harga minyak mahal, investasi pada energi terbarukan jadi lebih menarik. Ini karena energi terbarukan, yang mungkin awalnya terlihat mahal, menjadi lebih bersaing secara harga dibandingkan dengan minyak yang melonjak tinggi sehingga mendorong lebih banyak orang atau perusahaan untuk berinvestasi pada energi bersih," katanya dikutip dari Eco Business, Kamis (10/7/2025).
Proses ini sudah berlangsung di Britania Raya. Bulan lalu, Menteri Energi Inggris Ed Miliband menegaskan kembali komitmen untuk mendekarbonisasi ekonomi dan mendorong pertumbuhan bisnis hijau, menyusul invasi Rusia ke Ukraina dan kenaikan harga energi yang diakibatkannya.
"Kami memiliki tekad yang kuat untuk keluar dari gejolak pasar bahan bakar fosil dengan energi yang lebih murah, bersih, dan berasal dari dalam negeri yang kami kendalikan,” katanya.
Contoh lain juga datang dari Ethiopia di mana harga minyak yang tinggi membantu mempercepat transisi energi.
Etiopia menjadi negara pertama yang melarang kendaraan berbahan bakar bensin dan diesel. Kebijakan ini muncul karena biaya bahan bakar dan kesulitan Ethiopia dalam membiayai impor minyak.
Pemerintah pun berupaya mendorong mobil listrik karena negara ini memproduksi sebagian besar listriknya dari sumber energi terbarukan dan hal ini berdampak signifikan dan nyata terhadap transisi tersebut.
Lembaga riset Energy for Growth Hub sendiri mencatat Ethiopia kini memiliki 100.000 kendaraan listrik, mewakili sekitar 8 persen dari total kendaraan terdaftar, menjadikannya pemimpin global.
Baca juga: Transisi Energi di Kepulauan, Infrastruktur dan Insentif Kunci Suksesnya
Namun dalam beberapa kasus, hal itu justru dapat menghasilkan efek sebaliknya.
Guy Prince, seorang analis dari Carbon Tracker, sebuah lembaga think tank keuangan transisi energi, mengatakan bahwa kebutuhan mendesak akan energi mungkin menyebabkan reaksi spontan di beberapa negara untuk mencari bentuk energi yang lebih kotor seperti membakar batu bara, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungannya secara matang.
Kendati demikian, Prince menyampaikan meskipun ada perubahan atau fluktuasi sementara di pasar energi, arah jangka panjang menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar fosil akan terus menurun.
Batubara sebagai sumber energi pengganti menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan bentuk energi yang lebih bersih seperti angin dan matahari.
"Peningkatan sementara dalam penggunaan bahan bakar fosil justru menunjukkan betapa pentingnya negara-negara beralih ke energi terbarukan. Dengan begitu, mereka tidak akan lagi terpengaruh oleh harga bahan bakar fosil yang tidak stabil dan sering berubah," tambah Prince.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya