JAKARTA, KOMPAS.com — Leptospirosis masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira ini dapat menyebabkan kematian jika tidak segera ditangani.
Kondisi lingkungan yang kotor dan drainase yang buruk membuat bakteri tersebut semakin mudah menyebar.
Dosen Fakultas Pertanian IPB University, Swastiko Priyambodo, menjelaskan bahwa bakteri Leptospira sp menyebar melalui urin tikus yang mencemari air atau permukaan lain di lingkungan sekitar. Genangan air menjadi medium utama penyebaran penyakit ini, terutama saat musim hujan.
“Setiap wilayah yang memiliki genangan air rawan menjadi tempat persebaran penyakit leptospirosis,” ujar Swastiko kepada Kompas.com, Jumat (11/7/2025).
Swastiko menjelaskan tiga cara utama penyebaran leptospirosis. Di permukiman padat penduduk, tikus got (Rattus norvegicus) menyebarkan bakteri melalui air got dan genangan.
Di area pertanian, tikus sawah (Rattus argentiventer) menularkan melalui air di lahan pertanian. Di dalam rumah, penularan bisa terjadi jika makanan atau peralatan terkena urin tikus rumah yang terkontaminasi.
“Bakteri ini tetap bisa bertahan di permukaan kering. Jadi tidak selalu harus melalui genangan air yang masuk dari lubang-lubang alami tubuh kita,” katanya.
Baca juga: Perubahan Iklim, Situs Warisan Dunia Terancam Kekeringan atau Banjir
Ia menyoroti buruknya sanitasi lingkungan dan pengelolaan sampah sebagai penyebab utama meningkatnya risiko penyebaran leptospirosis. Tong sampah terbuka, tumpukan sampah di pemukiman, dan minimnya pengendalian populasi tikus menciptakan habitat ideal bagi penyebaran penyakit.
“Saat saya sekolah di Jerman, tidak ada tempat sampah besar di area permukiman yang terbuka. Di Indonesia, masih banyak tempat sampah yang dibiarkan terbuka dan menumpuk, sehingga menjadi habitat tikus,” ujar Swastiko.
Tingginya curah hujan yang tidak diimbangi dengan drainase memadai turut memperparah situasi. Genangan dan banjir bukan hanya menyulitkan aktivitas warga, tapi juga meningkatkan risiko paparan bakteri Leptospira.
“Banjir jadi masalah yang belum ada jalan keluarnya. Masyarakat terpaksa tetap beraktivitas di tengah genangan air yang mungkin sudah terkontaminasi,” ujarnya.
Untuk mencegah infeksi, Swastiko menganjurkan penggunaan alat pelindung diri seperti sepatu bot, masker, dan sarung tangan, serta memastikan luka di tubuh tertutup rapat saat beraktivitas di lingkungan banjir.
Di lingkungan rumah, kebersihan harus dijaga dengan rajin mengepel lantai menggunakan karbol, yang bisa membunuh bakteri dan menutup celah yang bisa dimasuki tikus.
Baca juga: 5 Warga Yogyakarta Meninggal akibat Leptospirosis, Dinkes Perkuat Deteksi dan Survei Lingkungan
Ia juga menyarankan pengendalian tikus secara langsung di rumah tangga. Menurutnya, penggunaan perangkap konvensional seperti racun tikus sering kali tidak lagi efektif karena tikus sudah terbiasa menghindari jebakan (trap shyness) maupun umpan (bait shyness) akibat banyaknya sumber makanan di rumah.
“Saya di rumah biasanya pakai lem untuk nangkap tikus, itu lebih efektif. Sebenarnya dipukul langsung dengan sapu juga bisa, tapi sering kali susah dilakukan,” katanya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya