JAKARTA, KOMPAS.com — Industri pengolahan gula dan minyak goreng didorong menghitung dan melaporkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai bagian pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan ke-13 tentang Penanganan Perubahan Iklim.
Hal ini disampaikan oleh Toto Iswanto, Kepala Bagian Pengembangan Jasa SBU Sertifikasi dan Eco-Framework PT Sucofindo, dalam Diskusi Kebijakan Pengurangan Emisi dan Lokakarya Perhitungan Emisi Industri yang diselenggarakan oleh IESR, Kamis (10/7/2025).
“Pemerintah juga mendorong industri-industri, termasuk industri minyak goreng dan gula rafinasi, untuk memberikan pelaporan emisi,” ujar Toto.
Toto menjelaskan bahwa industri gula menghasilkan emisi dari berbagai proses, mulai dari pembakaran bahan bakar (CO2), proses biologis dan penggunaan pupuk (CH4 dan N2O), limbah organik dan air limbah (CH4), hingga proses kimia seperti penggunaan kapur (CO2).
Gas-gas tersebut memiliki potensi pemanasan global (global warming potential) yang berbeda-beda.
“CH4 itu 28 kali lebih berdampak terhadap pemanasan global dibandingkan dengan CO2,” jelasnya.
Baca juga: Kemenperin Dorong Industri Lapor Emisi Lewat SIINas
Sementara itu, industri minyak goreng juga menghasilkan emisi dari pembakaran bahan bakar fosil (CO2) yang digunakan dalam boiler, kendaraan, dan genset; dari penggunaan pupuk di lahan pertanian (N2O); serta dari pengelolaan limbah padat dan cair (CH4). Perubahan penggunaan lahan akibat deforestasi juga menjadi penyumbang emisi (CO2).
Untuk menahan laju pemanasan bumi, perhitungan emisi menjadi langkah awal yang penting. Dalam konteks industri, perhitungan emisi GRK umumnya dikategorikan ke dalam tiga scope:
Menurut Toto, struktur perhitungan untuk industri minyak dan gula relatif serupa karena keduanya berbasis bahan baku dari sektor pertanian.
“Di sini perhitungannya relatif sederhana karena formula utamanya hanya data aktivitas dikalikan dengan faktor emisi,” jelasnya.
Baca juga: Mobil Listrik Hasilkan Emisi 73 Persen Lebih Rendah, Bantu Capai Target Iklim
Namun, ia menambahkan bahwa pendekatan ini lebih cocok untuk CO2. Untuk emisi jenis lain, diperlukan penyesuaian tambahan.
Aplikasi sederhana seperti Microsoft Excel ataupun sistem digital seperti SIINas (Sistem Informasi Industri Nasional) dinilai cukup membantu industri dalam melakukan perhitungan emisi dan menyusun pelaporan emisi.
“Tinggal masukkan data konsumsi, nanti keluar hasil emisinya,” ujar Toto.
Lebih lanjut, Toto mengatakan bahwa untuk menjamin keakuratan dan konsistensi pelaporan, ia menyarankan penggunaan standar internasional ISO 14064-1, ISO 14064-2 dan ISO 14064-3 yang memberikan panduan teknis dan berlaku lintas negara.
Menurut Toto, sistem seperti SIINas sendiri sudah dirancang agar mengikuti prinsip-prinsip pelaporan yang relevan dengan masing-masing sektor industri. Misalnya, sumber emisi pada industri tekstil tentu berbeda dengan industri minyak goreng, sehingga parameter pelaporannya pun harus disesuaikan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya