KOMPAS.com - Permintaan global untuk daging, susu, dan ikan diproyeksikan akan terus meningkat selama dekade mendatang, didorong oleh peningkatan pendapatan dan urbanisasi di negara-negara berpenghasilan menengah.
Namun, studi baru dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan meskipun ada kemajuan, berbagai pihak masih menghadapi tantangan besar karena masalah gizi yang belum teratasi dan tekanan lingkungan yang makin parah, menandakan bahwa solusi ke depan tidak akan mudah.
Laporan "Agricultural Outlook 2025-2034" itu memproyeksikan peningkatan konsumsi global konsumsi daging, susu, dan produk hewani lainnya secara global akan naik 6 persen per orang pada tahun 2034.
Tren peningkatan konsumsi produk pangan hewani ini paling menonjol di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Di negara-negara tersebut, konsumsi diperkirakan akan naik sebesar 24 persen, jauh melampaui rata-rata global.
Baca juga: Kesadaran Konsumen Tingkatkan Permintaan Daging Sapi Rendah Metana
“Proyeksi ini menunjukkan nutrisi yang lebih baik bagi banyak orang di negara-negara berkembang,” kata Qu Dongyu, Direktur Jenderal FAO, dikutip dari laman resmi United Nation, Rabu (16/7/2025).
Lonjakan konsumsi di negara-negara berpenghasilan menengah sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya pendapatan yang dapat dibelanjakan, perubahan preferensi makanan, dan urbanisasi.
Sehingga di negara-negara ini, asupan harian per kapita makanan hewani diproyeksikan mencapai 364 kilokalori, melampaui patokan 300 kkal.
Pada saat yang sama, konsumsi produk pangan hewani di negara-negara berpenghasilan rendah akan tetap rendah, yaitu hanya mencapai 143 kilo kalori (kcal) per hari. Jumlah ini kurang dari separuh dari jumlah yang dianggap perlu untuk pola makan sehat.
Hal ini menyoroti kesenjangan yang mencolok dalam akses terhadap pola makan kaya gizi serta tantangan yang akan datang untuk memastikan setiap orang memiliki ketahanan pangan.
Qu pun mendesak upaya yang lebih besar untuk memastikan masyarakat di negara-negara berpenghasilan terendah juga mendapatkan manfaat dari peningkatan gizi dan ketahanan pangan.
Dengan peningkatan konsumsi protein hewani ini, produksi pertanian dan ikan global pun diperkirakan naik 14 persen dalam 10 tahun ke depan untuk memenuhi permintaan.
Produksi daging, susu, dan telur diprediksi naik 17 persen, sementara jumlah ternak di seluruh dunia akan bertambah 7 persen.
Namun, peningkatan produksi ini datang dengan konsekuensi lingkungan: emisi gas rumah kaca (GRK) langsung dari sektor pertanian diproyeksikan akan meningkat sebesar enam persen pada tahun 2034, meskipun ada peningkatan dalam intensitas emisi.
Walaupun proses produksi jadi lebih efisien dan tiap unit produk menghasilkan emisi lebih sedikit, total emisi akan tetap naik kalau tidak ada upaya ekstra untuk menguranginya.
Kendati demikian, laporan juga menjabarkan sebuah skenario di mana gizi meningkat untuk semua orang, dan emisi pertanian berkurang hingga tujuh persen di bawah tingkat saat ini pada tahun 2034.
Untuk meningkatkan gizi dan mengurangi emisi pertanian secara bersamaan, laporan tersebut memberikan solusi untuk berinvestasi besar pada peningkatan produktivitas dan menerapkan teknologi ramah lingkungan seperti pertanian presisi, pakan ternak yang lebih baik, dan fokus pada produksi makanan bernutrisi.
Baca juga: Dari Ambisi ke Realita, Industri Daging Australia Stop Rencana Netral Karbon 2030
Selain itu, untuk mencapai kemajuan ke depan, diperlukan kombinasi antara koordinasi kebijakan yang baik, inovasi teknologi, dan investasi yang tepat sasaran, terutama di negara-negara dengan kesenjangan gizi yang parah.
“Kita memiliki perangkat untuk mengakhiri kelaparan dan meningkatkan ketahanan pangan global,” ujar Mathias Cormann, Sekretaris Jenderal OECD.
“Kebijakan yang terkoordinasi dengan baik diperlukan untuk menjaga pasar pangan global tetap terbuka, sekaligus mendorong peningkatan produktivitas jangka panjang dan keberlanjutan di sektor pertanian,” tambahnya.
Lebih lanjut, laporan juga menekankan pentingnya perdagangan internasional, karena diperkirakan pada tahun 2034, seperlima lebih dari kalori yang kita makan akan berasal dari makanan yang diperdagangkan antar negara.
"Kerja sama multilateral dan perdagangan pertanian berbasis aturan sangat penting untuk memfasilitasi arus perdagangan ini, menyeimbangkan defisit dan surplus pangan di berbagai negara, menstabilkan harga, dan meningkatkan ketahanan pangan, nutrisi, serta keberlanjutan lingkungan,” tulis laporan ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya