JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam era digital yang sarat distraksi, tantangan keberlanjutan tak hanya soal infrastruktur hijau, tapi juga tentang mengubah budaya konsumsi menjadi produktif sejak dini.
Hal ini disoroti dalam Webinar “Ngulik” ke-4 yang digagas oleh Indonesian Society of Sustainability Professionals (IS2P) berkolaborasi dengan KG Media dan LestariSummit dengan mengangkat tema: "Dari Konsumtif ke Produktif: Membangun Budaya Keberlanjutan Sejak Dini".
Maria Advenita, Center for Sustainability Manager Universitas Multimedia Nusantara mengatakan bahwa kita saat ini hidup di tengah realitas buatan dalam platform digital, bukan atas kebutuhan diri kita sendiri.
Baca juga: Lestari Forum, Bahas Ekosistem Investasi hingga “Sustainability Reporting”
“Platform digital tidak sekadar menyajikan informasi. Ia menangkap perhatian, memonetisasi minat, dan mendorong kita bereaksi tanpa refleksi. Dalam satu menit, emosi kita bisa berubah enam kali, sayangnya kita tidak sempat berhenti sejenak dan berefleksi,” ujar Maria dalam keterangan resminya, Sabtu (2/8/2025).
Ia menegaskan pentingnya mindful consumption sebagai praktik sadar yang mempertimbangkan dampak konsumsi terhadap diri, orang lain, dan lingkungan.
Nadia Andayani, Strategy Director Impacthink turut menyoroti fenomena konsumerisme di kalangan muda yang lahir di era For Your Page, dan sangat dipengaruhi oleh algoritma, tekanan sesama teman, hingga tren viral.
“Banyak anak muda yang mendukung isu keberlanjutan secara prinsip, tapi tidak secara tindakan. Ada jurang besar antara nilai dan aksi. Ini yang disebut dengan value–action gap,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nadia juga menyinggung paradoks konsumsi berkelanjutan di mana produk ‘hijau’ seperti tumbler justru menjadi simbol status baru yang dikoleksi tanpa digunakan, sehingga memperpanjang siklus konsumsi yang tidak perlu.
Melalui gerakan literasi dan edukasi transformasional, IS2P mendorong pendekatan yang tidak melarang atau mendikte, melainkan menyadarkan.
Maria menegaskan hal ini bukan soal larangan, tapi membantu generasi muda untuk memilih secara sadar di tengah kebisingan. Tidak dengan cara memberi tahu, tapi memberi contoh perilaku.
Ia mencontohkan bahwa di kampus tempat ia mengajar, bukan hanya dirinya yang mengingatkan mahasiswa untuk membawa botol minuman sendiri. Namun, sebaliknya mahasiswa- pun mengingatkan dosen bila membeli minuman berbotol plastik.
Sedangkan Nadia mengingatkan perlunya mengubah mindset ke arah yang produktif ketimbang tetap mempertahankan budaya konsumtif.
Baca juga: Tips Awak JKT48 Hadapi Diskon Tanggal Kembar agar Tak Konsumtif
Beberapa contoh Nadia sampaikan, misalnya, daripada memberi hadiah barang baru kepada anak, lebih baik memberi-nya hadiah dengan nonton film bersama atau membuat sesuatu bersama.
Ketimbang stres lalu belanja di mall, lebih bermanfaat jika menghilangkan stres dengan olahraga, atau menulis.
Sementara itu, Dimas Fikhriadi, GM Sustainability KG Media, menyatakan bahwa tantangan keberlanjutan terletak pada literasi yang rendah dan preferensi audiens digital yang masih condong ke konten berita, sains dan hiburan.
Data Kompas menunjukkan kanal bertema keberlanjutan hanya menarik 0,3 persen pengguna, dibandingkan 36,6 persen untuk kanal berita dan 18,8 persen untuk tekno. Kemudian 48 persen pengguna juga tidak paham tentang keberlanjutan.
Namun, peluang tetap terbuka. Survei tersebut juga menyatakan bahwa 39 persen responden menyatakan bahwa mereka mau membeli produk ‘hijau’ asalkan harganya terjangkau, dan 27 persen mau membeli dengan harga lebih.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya