KOMPAS.com - Thomas Smith dan Felicia Liu dalam studinya yang terbit di Progress in Environmental Geography yang terbit 12 Juni 2025 mengungkap bahwa musim-musim baru bermunculan seiring semakin parahnya krisis lingkungan.
Munculnya musim-musim baru tersebut menandai interseksionalitas manusia dengan musim. Musim bisa merupakan sesuatu yang terjadi secara alami, tetapi juga bisa karena kebudayaan manusia.
Dalam tulisannya di The Conversation, Juli 2025 lalu, Smith dan Liu mencontohkan, sejumlah musim misalnya adalah musim kabut asap. Musim ini awalnya tak ada, tetapi praktik manusia mengembangkan perkebunan monokultur serta pembakaran lahan memunculkannya.
Musim lain adalah musim sampah tahunan, misalnya yang terjadi di Bali antara November hingga Maret, saat laut membawa sampah-sampah lautan ke daratan. Musim ini memang berkaitan dengan pasang surut, tetapi hanya bisa muncul karena adanya akumulasi sampah.
Selain memunculkan musim, ulah manusia juga bisa menghilangkan musim. Perubahan iklim mendorong penyusutan es di wilayah Alpen yang pada gilirannya bisa menghilangkan musim olahraga ski es.
Di Inggris, perubahan iklim dan perusakan lingkungan memengaruhi migrasi burung. Pada gilirannya mengakibatkan hilangnya musim kawin burung laut di Inggris utara yang tadinya selalu terjadi di waktu-waktu tertentu.
Baca juga: Tinggal 3 Tahun, Kita Kehabisan Waktu Atasi Krisis Iklim jika Tak Gerak Cepat
Bumi dan musim-musimnya seolah mengembangkan ritme baru. Musim panas menjadi lebih gerah dan musim dingin semakin sejuk di daerah beriklim sedang. Dan itu berdampak pada musim-musim yang diciptakan manusia.
Smith dan Liu, meminjam istilah kardiologi, mengungkapkan bahwa musim kini menjadi aritmik. Seiring dengan musim dingin, hujan, kemarau yang tak terduga, musim tanam, musim hibernasi, dan lainnya pun tak beraturan.
Dampak musim yang tak beraturan luar biasa. Di Mekong, curah hujan menentukan sukses dan tidaknya pertanian dan perikanan. Debit air tak menentuk menghalangi migrasi ikan dan akumulasi sedimen yang dibutuhkan pertanian.
Ketidakpastian musim, kata Smith dan Liu, menyempitkan perspektif manusia tentang waktu dan lingkungan. Manusia kini berpikir tentang waktu dalam hitungan hari, jam, serta menit, melupakan cara-cara lama berdasarkan ritme alami seperti datangnya musim hujan.
Padahal, Smith dan Liu, keberagaman perspektif, khususnya dari sistem pengetahuan masyarakat adat bisa meningkatkan kemampuan manusia untuk merespon perubahan lingkungan.
Musim pada dasarnya bukan sekadar pembagian waktu, tetapi juga mencerminkan hubungan manusia dengan alam. Upaya menemukan keselarasan dengan ritme musim yang berubah penting untuk membangun masa depan yang berkelanjutan.
Baca juga: India Alami Musim Hujan Paling Dini dalam 14 Tahun, Bawa Berkah Sekaligus Musibah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya