JAKARTA, KOMPAS.com - Model ekonomi ekstraktif yang menyebabkan permasalahan krisis iklim saat ini, dapat ditelusuri sekitar 200 tahun lalu ketika hutan mulai dialihfungsikan sebagai lahan perkebunan untuk tanaman komersial (cash crop).
"Kapan sih kita memulai problem ini (krisis iklim). Akarnya, bisa kita lihat saat kita memasuki zaman modern kira-kira 200 tahun lalu. Dalam sejarah kita sendiri, jantungnya kolonialisme itu perkebunan," ujar Ketua Senat Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Hilmar Farid dalam kuliah umum Bumi, Sejarah, dan Kita; Membaca Ulang Nusantara dalam Krisis Iklim yang disiarkan akun Youtube Indonesia untuk Kemanusiaan pada Selasa (29/7/2025).
Bahkan, menurutnya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1830-1834, Johannes van den Bosch menyebut, Jawa sebagai gabus tempat Belanda mengapung. Itu karena berbagai tanaman komersial yang ditumbuhkan di Jawa menghasilkan banyak pendapatan yang dipakai untuk membangun Belanda.
Baca juga: Kemampuan Survival Orang Indonesia Berkurang akibat Politik Bansos dan Krisis Iklim
"Jadi, Belanda itu mengapung di atas gabusnya, gabusnya itu adalah perkebunan, dan praktik semacam ini sampai hari ini terus berlanjut, perusahaan nikel di Morowali menjadi gabus bagi siapapun yang berkuasa di atasnya supaya dia bisa mengapung," tutur mantan Direktur Jenderal Kebudayaan itu.
Mengutip buku "Seeing Like a State" karya James Scoot dijelaskan bagaimana Jawa menjadi salah satu model ekonomi ekstraktif perkebunan, yang kemudian dikembangkan di seluruh dunia.
Menurut Hilmar, mindset yang dimulai sejak masa kolonial tersebut, bertahan sampai saat ini. Deforestasi pada masa Orde Baru mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun.
Meski deforestasi saat ini mengalami penurunan, kata dia, tetap saja sama fatalnya bagi kehidupan banyak orang.
"(Mindsetnya) kalau dia melihat lahan, dia betul-betul akan memahaminya dari perspektif eksploitasi. Pohon (di hutan) ditebang dan digantikan tembakau. Kalau melihat lahan itu yang dipelajari kesuburan tanah, apa yang bisa ditanam, dan apa yang bisa menghasilkan kayu," ucapnya.
Hilmar menilai, secara global, krisis iklim belum dianggap sebagai suatu permasalahan yang luar biasa serius.
Padahal, selama 20 tahun terakhir, bumi menunjukkan kondisinya yang sangat buruk akibat perubahan iklim. Misalnya, tercermin dari gelombang panas di India dan Pakistan dengan korban mencapai ratusan orang.
Menurut Hilmar, alasan di balik krisis iklim belum dianggap sebagai suatu permasalahan yang mendesak untuk diatasi dapat ditelusuri dalam sejarah penanganannya secara global.
Isu iklim pertama kali dibahas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1988. Namun, laporan dari konferensi PBB itu baru dikeluarkan pada 1990-an, yang mengawali beredarnya isu pemanasan global (global warming).
Baca juga: Pakar Katakan, Intervensi Iklim di Laut Sia-sia jika Tata Kelolanya Masih Sama Buruknya
“Waktu itu orang bukan bicara tentang perubahan iklim, tetapi orang bicara tentang global warming, pemanasan global bahwa buminya akan semakin hangat. Jadi, seolah-olah isunya hanya soal temperatur. Padahal ini bukan berbicara cuaca,” tutur Hilmar.
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tahun 1992 menjadi tonggak baru pembahasan isu iklim. Namun, pembahasan krisis iklim di tingkat global hampir selalu berhenti di panel-panel diskusi para ahli yang terlalu saintifik.
Imbasnya, narasi betapa gawatnya krisis iklim di tingkat global tidak muncul sama sekali di akar rumput.
“Kalau kita lihat sampai hari ini (hal) itu datang silih berganti setiap tahun. Sepertinya memberikan urgensi dan seterusnya itu, tetapi tindakan yang diambil untuk mencegah krisis iklim ini sangat minimal,” ucapnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya