Menurut Toktas, dampak krisis iklim tersebut sudah tampak dari perilaku sejumlah wisatawan Eropa yang memesan perjalanan lebih awal atau lebih lambat untuk menghindari teriknya musim panas.
Perubahan tersebut mengakibatkan tingkat keterisian penginapan pada bulan Juli dan Agustus lebih rendah, kecuali hotel menyesuaikan harga atau menawarkan paket.
Krisis iklim mulai mempengaruhi preferensi liburan, mengingat kebakaran hutan terkait suhu panas telah mengancam nyawa di Eropa.
Sebuah studi yang dilakukan di Universitas Boaziçi mengungkapkan, kenyamanan iklim di sepanjang pantai Mediterania, Aegea, dan Marmara di Turki akan memburuk secara signifikan antara tahun 2026 dan 2050.
Suhu panas ekstrem di musim panas dan meningkatnya kelembapan akan berdampak negatif pada kenyamanan fisik wisatawan, sehingga menurunkan jumlah pengunjung dan memperpendek masa tinggal.
Kepala pariwisata budaya di TÜRSAB, lham Seyyale mengatakan, krisis iklim mendorong wisatawan domestik beralih ke wilayah utara Turki yang lebih sejuk.
Terjadi banyak pembatalan reservasi dan penurunan kunjungan wisatawan di wilayah selatan Turki pada bulan Agustus sebesar 20 persen dibandingkan tahun lalu.
Di sisi lain, permintaan wisata budaya di sekitar Laut Hitam telah meningkat sebesar 15-20 persen dibandingkan tahun lalu.
"Hampir tidak ada kebakaran hutan di wilayah Laut Hitam. Hal ini menenangkan para wisatawan. Orang-orang sekarang memeriksa curah hujan, kerapatan hutan, dan risiko kebakaran sebelum memilih destinasi. Wilayah Laut Hitam Barat dan Tengah menonjol dalam hal ini," ujar Seyyale, dilansir dari Hurriyet Daily.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya