KOMPAS.com - Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) mendesak Presiden Prabowo Subianto menghentikan narasi normalisasi penggunaan kekerasan dalam penanganan aksi.
Aliansi PKTA juga menuntut Prabowo menginstruksikan jajaran pemerintah pusat dan daerah, serta Polri, untuk menjamin hak-hak anak menyatakan pendapat dan berkumpul, serta menjamin keselamatannya.
Diketahui, penangkapan dan penahanan ratusan pelajar yang diiringi laporan dugaan kekerasan maupun ketiadaan akses pendampingan hukum terjadi di kota-kota Indonesia seperti Jakarta, Semarang, Bandung, DIY, Makassar, sampai Palu.
Bahkan, pada Jumat (29/8/2025), pelajar asal Tangerang, Andika Lutfi Falah (16 tahun), dilaporkan meninggal dunia usai aksi, dengan luka berat di kepala dan diduga terkait kekerasan aparat. Sedangkan di Semarang, sejumlah pelajar, termasuk anak penyandang, disabilitas ditangkap paksa dan baru dibebaskan pada Minggu (31/8/2025) siang.
"Penangkapan anak dalam konteks demonstrasi tentu menimbulkan pertanyaan penting mengenai sejauh mana aparat kepolisian berwenang melakukan tindakan tersebut," demikian keterangan tertulis Aliansi PKTA, Rabu (3/9/2025).
Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of the Child melalui Keputusan Presiden No. 36/1990, yang mengamanatkan perlindungan anak dalam menyampaikan aspirasinya.
Selain itu, terdapat pula UU 35/2024 tentang Perlindungan Anak yang melarang kekerasan dan diskriminasi terhadap anak; UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang mewajibkan pendampingan hukum dan pendekatan keadilan restoratif pada setiap tahap proses; serta ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU 5/1998, yang menegaskan larangan atas penyiksaan.
"Perlindungan terhadap hak-hak anak harus menjadi prioritas utama, mengingat mereka merupakan kelompok rentan dan membutuhkan pendekatan dan pendampingan hukum yang memadai," demikian keterangan tertulis Aliansi PKTA.
Aliansi PKTA menilai, praktik kekerasan, penahanan sewenang-wenang, serta pemeriksaan tanpa pendampingan terhadap anak bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Baca juga: ICJ Akui Krisis Iklim sebagai Isu HAM, Tapi Abaikan Hak Anak
Maka, Aliansi PKTA menganggap solusi yang tepat adalah mengembalikan anak ke keluarga, sekolah, atau lingkungan aman lainnya, menyediakan layanan pemulihan, memastikan bantuan hukum efektif, serta menata ulang tata kelola pengamanan aksi dengan perspektif perlindungan anak, responsif gender, dan inklusif.
Di sisi lain, Aliansi PKTA mendesak Polri melakukan investigasi independen, imparsial, dan transparan atas dugaan penyiksaan terhadap anak pada 25-31 Agustus 2025. Aliansi PKTA juga menuntut Polri menghentikan praktik pemeriksaan tanpa pendamping dan menempatkan anak sebagai korban bukan pelaku kriminal.
"Kami mendesak Kapolri, Polda Jateng, Polda Jatim, memastikan adanya ruang bagi organisasi masyarakat sipil untuk memantau, mendampingi dan melaporkan kasus tanpa intimidasi," demikian keterangan tertulis Aliansi PKTA.
Aliansi PKTA meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan pemantauan terpadu, pendampingan keluarga, layanan pemulihan psikososial, serta edukasi hak anak di sekolah atau komunitas.
Aliansi PKTA juga mendesak KemenPPA dan KPAI memastikan anak yang terdampak tidak terstigmatisasi serta melakukan koordinasi maupun edukasi dengan jajaran TNI-Polri untuk memastikan mekanisme pengamanan yang aman bagi anak sesuai amanat undang-undang.
Aliansi PKTA terdiri dari Aliansi Remaja Independen (ARI); ChildFund International di Indonesia; Ecpat Indonesia; Fatayat Nahdatul Ulama; Gugah Nurani Indonesia; HI-IDTL; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR); ICT Watch; JPAI - The SMERU Research Institute; Kampus Diakonia Modern (KDM); MPS PP Muhammadiyah; Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI); Plan International Indonesia; Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Universitas Indonesia (PUSKAPA); Rifka Annisa; Rutgers WPF Indonesia; SAMIN; SAHABAT ANAK; SEJIWA; Setara; SOS Village; Wahana Visi Indonesia (WVI); Yayasan Pulih; Yayasan Save The Children Indonesia (YSTC Indonesia); Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC); Youth Network on Violence Against Children (YNVAC); Yayasan KAKAK; Yayasan PLATO ; Yayasan KKSP; Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata; Jala Samudera Mandiri.
Baca juga: WVI Gelar KREASI, Program Edukasi Anak Indonesia Lewat Pembuatan Buku
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya