JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Marcellus Hakeng Jayawibawa, menilai penutupan keran ekspor benih bening lobster (BBL) menjadi tonggak baru tata kelola hasil laut RI.
Hal ini disampaikannya, merespons keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyetop ekspor BBL melalui kebijakan moratorium. Kendati, KKP sempat membuka pengiriman BBL pada 2024 lalu.
"Kebijakan moratorium ini haruslah kita apresiasi dan sambut bersama karena hal ini, merupakan cerminan pemerintah mau belajar dari kesalahan dan adaptif terhadap masukan masyarakat," ujar Hakeng dalam keterangannya, Kamis (18/9/2025).
Moratorium juga didasarkan pada alasan ekologi. Benih lobster yang diambil dari alam dalam jumlah besar berpotensi mengancam regenerasi populasi.
“Prinsip blue economy menuntut kita menjaga laut sebagai warisan generasi mendatang,” kata dia.
Baca juga: KKP Setop Kerja Sama dengan Vietnam Imbas Maraknya Penjualan Benih Lobster Ilegal
Dia menjelaskan, selama bertahun-tahun benih lobster dari perairan Indonesia diekspor ke Vietnam dan China. Negara-negara itu mengembangkan industri budidaya, hingga menuai keuntungan besar. Sayangnya, RI yang merupakan sumber benih utama hanya mendapat sedikit keuntungan. Menurut Hakeng, moratorium terbaru mengoreksi praktik lama yang melemahkan posisi tersebut.
"Kita harus berhenti jadi penyedia benih mentah, lantas membangun industri bernilai tambah di dalam negeri,” ucap dia.
Di sisi lain, kebijakan moratorium bisa berdampak pada hubungan internasional terutama dengan Vietnam, importir utama benih dari Indonesia. Dengan ditutupnya keran ekspor, industri mereka berpotensi terganggu.
“Diplomasi ekonomi harus berjalan beriringan,” sebut Hakeng.
Hakeng mencatat budi daya lobster Vietnam bisa mengimpor hingga 600 juta ekor per tahun. Jika setiap ekor dikenakan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 5.000, potensi penerimaan negara bisa mencapai Rp 1,5 triliun per tahunnya.
"Namun peluang itu banyak hilang akibat praktik penyelundupan,” imbuh Hakeng.
Studi Universitas Gadjah Mada pada 2023 memperkirakan kerugian akibat ekspor ilegal lebih dari Rp 1 triliun per tahun. Berdasarkan catatan, penyelundupan benih lobster digagalkan Bea Cukai bersama Balai Besar KIPM pada 2024 lalu. Pelaku hendak menyelundupkan 174.000 ekor benih senilai Rp 26,5 miliar menuju Singapura.
Hakeng menyebutkan, angka kasus mungkin lebih besar dibandingkan yang terungkap. Dia berpandangan, selama Indonesia tidak mampu mengendalikan rantai distribusi benih, negara lain akan terus menikmati keuntungan dari kelemahan tersebut.
Baca juga: Tujuh Spesies Baru Lobster Ditemukan lewat Riset Spesies Eksotik
Pemerintah menargetkan produksi budi daya lobster sebesar 7.220 ton pada 2024. Namun capaian di 2020 baru sekitar 1.377 ton. Menurut Hakeng, kesenjangan itu menunjukkan bahwa eksploitasi benih lobster tidak sebanding dengan hasil budi daya dalam negeri.
Untuk mendukung moratorium, pemerintah membentuk Satuan Tugas BBL yang melibatkan Bakamla, TNI AL, Polri, Bea Cukai, hingga kejaksaan. Tim lintas lembaga ini bertugas mengawasi jalur distribusi dan mencegah penyelundupan. Meski demikian, Hakeng memberi catatan kritis.
"Koordinasi lintas lembaga sering jadi persoalan klasik. Tanpa sistem komando yang jelas, Satgas hanya jadi simbol,” ucap Hakeng.
Ia menekankan pentingnya pengawasan terhadap pelabuhan tikus yang kerap dijadikan jalur ilegal, pemanfaatan satelit untuk patroli laut, serta penerapan sistem logistik digital agar pergerakan benih bisa dipantau secara real time.
Moratorium diharapkan bisa meninhkatkan budi daya domestik. Program percontohan di Batam sejak 2024 menjadi bukti bahwa peluang itu terbuka lebar. Sebanyak 33.143 ekor benih ditebar di unit pendederan, dengan tingkat hidup lebih dari 80 persen sebelum dipindahkan ke keramba jaring apung.
Dia pun mendorong pemerintah menyediakan skema transisi yang adil melalui pelatihan keterampilan budi daya, akses permodalan, hingga insentif produksi. Sebagai informasi, pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden yang mencabut Permen KP Nomor 7 Tahun 2024, sehingga ekspor benih kembali ilegal sepenuhnya.
Baca juga: Setelah 20 Tahun, WTO Resmi Larang Subsidi Perikanan Ilegal dan Merusak
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya