KOMPAS.com - Sebuah penelitian baru menemukan para petani sawit mandiri Indonesia tanpa sengaja tidak disertakan dalam rantai pasokan yang terhubung dengan pabrik bersertifikasi berkelanjutan.
Studi yang dipimpin peneliti dari University of Hawaii at Manoa dan dipublikasikan dalam jurnal Communications Earth & Environment ini pun menyoroti hambatan besar dalam menciptakan pasar sawit yang adil dan berkelanjutan.
"Banyak petani tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi di pasar pabrik bersertifikasi, dan mereka kehilangan potensi keuntungan seperti transparansi harga," kata Andini Ekaputri, penulis utama yang melakukan penelitian ini sebagai bagian dari studi Ph.D-nya di College of Tropical Agriculture and Human Resilience, Department of Natural Resources and Environmental Management, dikutip dari Phys, Kamis (11/9/2025).
Minyak sawit, yang terbuat dari buah pohon kelapa sawit, adalah minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia.
Baca juga: 84 Ribu Hektare Kebun Sawit Ada dalam Kawasan Hutan, Milik 64 Entitas
Minyak ini merupakan bahan utama dalam ratusan produk rumah tangga, seperti pizza, sampo, dan donat. Minyak sawit juga digunakan sebagai pakan ternak dan biofuel.
Pasar minyak sawit global diperkirakan bernilai 72 miliar dolar AS per tahun.
Meskipun perkebunan milik perusahaan besar menghasilkan sebagian besar minyak sawit, sekitar 30 persen sisanya berasal dari petani skala kecil (smallholder farmers).
Petani-petani ini terbagi dalam dua kategori yaitu petani kontrak (contract smallholders), yang memiliki perjanjian formal dengan pabrik kelapa sawit dan juga petani mandiri (independent smallholders), yang beroperasi tanpa kontrak tersebut.
Indonesia yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia memiliki banyak sekali perkebunan skala kecil yang mandiri.
Dan studi ini menemukan bahwa pabrik-pabrik di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) cenderung lebih jarang membeli sawit dari petani mandiri ini.
Dalam studi ini, tim peneliti menganalisis data dari pabrik-pabrik di Kalimantan dan Sumatera dan menemukan bahwa pabrik bersertifikasi hanya mendapatkan 7 persen dari buah sawit mereka dari petani mandiri.
Baca juga: 360 Ha Lahan TN Gunung Leuser yang Rusak karena Sawit Ilegal, Bakal Direhabilitasi
Hal ini terjadi meskipun petani mandiri memproduksi sekitar 34 persen dari total buah sawit. Sebaliknya, pabrik-pabrik bersertifikasi membeli lebih banyak dari yang diperkirakan dari petani kontrak
Lebih lanjut hasil penelitian ini akan menjadi landasan bagi regulasi produk bebas deforestasi Uni Eropa, yang mungkin berisiko mengecualikan beberapa produsen sawit skala kecil.
Tim peneliti merekomendasikan agar organisasi seperti RSPO dan para pedagang besar minyak sawit mengambil pendekatan yang lebih proaktif.
Mereka juga mendesak peningkatan keterlibatan dengan petani skala kecil dan upaya kolaboratif yang melibatkan pemerintah dan sektor swasta untuk menyelesaikan masalah seperti legalitas lahan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya