JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 3.406 desa berkonflik dengan negara yang mengklaim secara sepihak sebagai kawasan hutan. Desa-desa berkonflik tersebut mayoritas merupakan sentra-sentra pertanian dan produksi pangan.
Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya menilai, klaim sepihak negara yang mengubah status desa-desa dengan lahan-lahan pertanian produktif menjadi kawasan hutan bertentangan dengan jargon swasembada pangan.
"Kalau dari perspektif KPA, tentu kalau pemerintah mau menuntaskan swasembada pangan atau bahkan kedaulatan pangan, tentunya persoalan struktural agraria semacam ini perlu dituntaskan," ujar diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Bahkan, salah satu Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) mengklaim berbagai desa dengan total wilayah seluas 1,2 juta hektar sebagai kawasan hutan. Dari total 1,2 juta hektar tersebut, sebesar 62 persennya merupakan desa-desa yang menjadi sentra-sentra pertanian dan produksi pangan.
Baca juga: Pengesahan RUU Masyarakat Adat, Jalan Pulang Menuju Pertanian Berkelanjutan
Hingga saat ini, kata dia, penyelesaian desa-desa berkonflik karena diklaim sebagai kawasan hutan tidak pernah berhasil dituntaskan. Status kawasan hutan telah menghambat para petani untuk memperoleh hak milik atas lahan-lahan pertaniannya.
"Kalau kita urai dalam konteks sejarah agraria, ini kan sebenarnya awalnya permukiman yang sudah menjadi desa definitif, namun karena kesalahan kebijakan dari pemerintah, kebijakan sepihak tadi, itu ditetapkan statusnya sebagai kawasan hutan," tutur Benny.
Desa-desa berkonflik tersebut diperlakukan negara sebagai kawasan hutan. Imbasnya, tidak ada pembangunan infrastruktur dari negara, seperti jalan dan saluran irigasi, selayaknya desa-desa lain.
Selain pembangunan infrastruktur, para petani di desa-desa berkonflik tersebut tidak mendapatkan akses bantuan dari negara seperti subsidi pupuk.
"Masyarakat yang berada di lokasi-lokasi ini akhirnya swadaya. Ya, akhirnya itu kan berpengaruh pada biaya yang dikeluarkan petani," ucapnya.
Para petani di Desa Bulupayung, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, yang sudah menggarap lahan pertanian sejak 1962. Namun, Perhutani mengklaim kepemilikan Desa Bulupayung dan statusnya berubah menjadi bagian dari kawasan hutan.
Meski masih diperbolehkan tinggal dan menggarap lahan pertanian di tanah seluas 2.000 hektar, sebanyak 3.000 keluarga petani tidak memperoleh bantuan dari negara. Misalnya pembangunan jalan dan irigasi, serta subisidi pupuk. Padahal, Desa Bulupayung termasuk sentra pertanian pangan di Cilacap.
"Mereka harus mengeluarkan cost yang lebih ekstra atau biaya produksi pertanian. Belum terkait jaringan pasar yang memang tidak menentu dan juga dampak-dampak diklaim sebagai kawasan hutan. Akhirnya, dengan konflik yang terjadi di kehutanan ini, semakin terhimpit nasib para petani itu," ujar Benny.
Kedua, para petani dari desa-desa di Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, yang sudah menggarap lahan pertanian sejak 1965. Namun, status desa-desa di Kecamatan Sukasari berubah menjadi kawasan hutan pada 1996.
Di sana, sebanyak 1.200 keluarga petani menggara lahan seluas 500 hektar. "Panen mereka ini sebenarnya mencapai 6 ton per hektar dari Sukasari, (seperti Desa Bulupayung, Kecamatan Sukasari) ini juga merupakan salah satu penopang (pangan, tetapi) di Jawa Barat," tutur Benny.
Seperti di Desa Bulupayung, para petani di Kecamatan Sukasari juga merasakan ketidakhadiran negara akibat diklaim sebagai kawasan hutan. Mereka memprotes tidak adanya pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi di Kecamatan Sukasari.
"Karena dari Dinas Pertanian (juga) tidak pernah memberikan subsidi atau dukungan karena statusnya tadi, belum dilepaskan dari klaim kawasan hutan itu," ucapnya.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Panen Pertanian Semakin Tidak Stabil
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya