KOMPAS.com - Saat ini sekitar 1,7 miliar orang tinggal di wilayah yang mengalami degradasi lahan.
Itu artinya area tersebut kehilangan kesuburannya dan tidak dapat menghasilkan makanan sebanyak sebelumnya sehingga berisiko menyebabkan kekurangan pangan dan kelaparan.
Degradasi lahan yang disebabkan oleh manusia ini pun digambarkan sebagai krisis yang meluas dan senyap karena merusak produktivitas pertanian dan mengancam kesehatan ekosistem di seluruh dunia.
Temuan tersebut merupakan laporan terbaru State of Food and Agriculture (SOFA) yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
“Laporan ini menyampaikan pesan yang jelas bahwa degradasi lahan bukan hanya isu lingkungan tetapi juga berdampak pada produktivitas pertanian, mata pencaharian pedesaan, dan ketahanan pangan,” tulisan laporan tersebut, dikutip dari laman resmi United Nations, Senin (3/11/2025).
Baca juga: Sektor Pertanian Harus Tumbuh 4,7 Persen Per Tahun Jika Pertumbuhan PDB RI Ingin Capai 8 Persen
Tanah adalah inti dari sistem pangan dan pertanian yang mendukung lebih dari 95 persen produksi pangan.
Tanah juga menyediakan layanan ekosistem penting yang menopang kehidupan di planet ini.
Degradasi lahan biasanya disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor-faktor pemicu alami seperti erosi tanah dan salinisasi.
Namun, aktivitas manusia seperti deforestasi, penggembalaan berlebihan, dan praktik irigasi yang tidak berkelanjutan, kini menjadi beberapa kontributor utama.
Untuk mengukur degradasi, laporan tersebut membandingkan kondisi saat ini tiga indikator utama untuk mengukur kesehatan tanah yakni karbon organik tanah, erosi tanah, dan air tanah, dengan kondisi tanpa aktivitas manusia.
Data diproses melalui model pembelajaran mesin yang mengintegrasikan faktor pendorong perubahan lingkungan dan sosial-ekonomi untuk memperkirakan kondisi dasar lahan tanpa aktivitas manusia.
Laporan kemudian memperkirakan bahwa sekitar 1,7 miliar orang di seluruh dunia tinggal di daerah dengan hasil panen 10 persen lebih rendah akibat degradasi lahan akibat manusia. Mereka termasuk 47 juta anak di bawah usia lima tahun yang menderita stunting.
“Secara absolut, negara-negara Asia adalah yang paling terdampak, baik karena akumulasi degradasi maupun kepadatan penduduknya yang tinggi,” kata FAO.
Baca juga: Bukan dari Aspirasi Petani, Kebijakan Pertanian Sulit Kontribusi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Lebih lanjut, laporan tidak hanya menyajikan masalah melainkan menawarkan solusi yang dapat ditindaklanjuti yakni praktik pengelolaan dan penggunaan lahan berkelanjutan yang terintegrasi.
Namun selain itu juga perlu dukungan kebijakan pemerintah yang cerdas dan relevan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi keberlanjutan.
Menurut laporan, kita hanya perlu membalikkan 10 persen dari kerusakan tanah yang telah disebabkan oleh manusia pada lahan pertanian yang sudah kita miliki melalui rotasi tanaman atau praktik pengelolaan lahan berkelanjutan lainnya.
Hasil dari pemulihan 10 persen tersebut adalah peningkatan produksi pangan yang cukup untuk memberi makan 154 juta orang tambahan setiap tahun.
“Untuk memanfaatkan peluang ini, kita harus bertindak tegas. Pengelolaan lahan berkelanjutan membutuhkan lingkungan yang mendukung investasi, inovasi, dan pengelolaan jangka panjang,” tulis Direktur Jenderal FAO Dongyu Qu dalam kata pengantar laporan tersebut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya