Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tambang Batu Bara Bekas Masih Lepaskan Karbon, Studi Ungkap

Kompas.com, 6 November 2025, 17:02 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Earth com

KOMPAS.com - Penelitian baru yang dipresentasikan di GSA Connects 2025 di San Antonio menemukan hal yang mengejutkan.

Tambang batubara yang sudah lama tidak terpakai merupakan sumber emisi CO2 jangka sangat panjang yang tersembunyi.

Drainase atau air yang mengalir keluar dari tambang batubara yang sudah tak beroperasi ternyata bertindak sebagai pengangkut CO2 yang larut ke permukaan, diam-diam kemudian melepaskannya ke udara puluhan bahkan berabad-abad setelah penambangan berhenti.

Hasil tersebut terungkap setelah ahli geokimia Dorothy Vesper dari West Virginia University (WVU) meneliti drainase selama bertahun-tahun.

Dalam sebuah studi tahun 2016, ia dan rekan-rekannya memperkirakan bahwa drainase dari 140 tambang terbengkalai di Pennsylvania, AS melepaskan CO2 per tahun sebanyak pembangkit listrik tenaga batu bara kecil.

Baca juga: Kemenhut: Sulit Berantas Tambang Ilegal di TNGHS yang Jadi Mata Pencaharian

“Kami ingin memiliki pemahaman yang jauh lebih baik tentang seberapa besar emisi karbon ini,” kata Vesper, dikutip dari Earth, Selasa (4/11/2025).

Selama ini, sebagian besar pembahasan tentang drainase tambang berfokus pada aliran sungai berwarna oranye, ikan trout yang keracunan, dan infrastruktur yang terkorosi.

Namun penelitian menunjukkan ada juga gumpalan yang tak terlihat yakni CO2 yang menguap saat air meninggalkan tambang dan merembes ke sungai-sungai kecil.

Kebocoran itu berkelanjutan dan tidak terputus. menjadikannya penyumbang emisi CO2 yang terabaikan namun berdampak dalam jangka panjang.

Proses kimia pelepasan CO2 ini prosesnya sebenarnya sudah mulai dari bawah tanah.

Banyak lapisan batubara disertai dengan mineral yang mengandung sulfida. Ketika penambangan membuat mineral tersebut terpapar oksigen dan air, mereka menghasilkan asam sulfat.

Air asam yang dihasilkan kemudian bergerak melalui batu kapur dan batuan karbonat lainnya yang terbentuk jutaan tahun lalu.

Batuan karbonat tersebut menyimpan karbon yang berasal dari atmosfer kuno. Dan ketika asam sulfat bertemu dengan batuan karbonat ini, asam tersebut melarutkan batuan, melepaskan CO2 yang telah terperangkap di dalamnya selama jutaan tahun. CO2 inilah yang kemudian dibawa oleh air tambang ke permukaan.

Sebelumnya, hanya sedikit peneliti yang berusaha mengukur secara kuantitatif jumlah pasti CO2 yang dilepaskan melalui proses penguapan air tambang.

Alasannya karena sifatnya yang sulit diukur, tidak terpusat, atau sulit dilacak secara konsisten.

Baca juga: 36 Tambang Ilegal di Merapi Ditindak, Kemenhut Siap Pulihkan Ekosistem

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
LSM/Figur
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
LSM/Figur
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
LSM/Figur
KUR UMKM Korban Banjir Sumatera Akan Diputihkan, tapi Ada Syaratnya
KUR UMKM Korban Banjir Sumatera Akan Diputihkan, tapi Ada Syaratnya
Pemerintah
Kementerian UMKM Sebut Produk China Lebih Disukai Dibanding Produk Indonesia, Ini Sebabnya
Kementerian UMKM Sebut Produk China Lebih Disukai Dibanding Produk Indonesia, Ini Sebabnya
Pemerintah
Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit
Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Perubahan Iklim Berpotensi Mengancam Kupu-kupu dan Tanaman
Perubahan Iklim Berpotensi Mengancam Kupu-kupu dan Tanaman
LSM/Figur
Sepanjang 2025, Bencana Iklim Sebabkan Kerugian hingga Rp 1.800 Triliun
Sepanjang 2025, Bencana Iklim Sebabkan Kerugian hingga Rp 1.800 Triliun
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau