MEDAN, KOMPAS.com - Nur Wahida, penenun asal Deli Serdang, Medan, Sumatera Utara memulai kariernya sebagai pembordir baju. Dia bercerita, tenun kain mulai ditekuni pada 2011 lalu.
Mulanya, ia dan para penenun yang tergabung dalam Raki Tenun hanya menenun songket batak. Namun seiring berjalannya waktu dan desakan ekonomi, Nur akhirnya memproduksi songket melayu.
"Jadi 2014, itu baru saya menenun songket melayu, karena saya tinggal di Deli Serdang. Jadi kami terjun di grup tenun melayu, membuat motif melayu dan ada satu customer yang pesan," ujar Nur ditemui dalam acara Bakti BCA di Medan, Selasa (4/11/2025).
Baca juga: Lestarikan Lagi Tenunan Berpewarna Alami, BCA Libatkan 32 Penenun Songket Melayu
Menurut dia, yang membedakan songket batak dengan songket melayu ialah warnanya yang lebih mencolok. Sementara dari segi harga, songket melayu lebih mahal dibandingkan songket batak lantaran proses pembuatannya yang rumit dan lama.
"Kalau ekspor belum pernah yang besar. Tetapi kami pernah ekspor sendiri sampai ke Kuching, Sarawak, Malaysia. Kami pernah event di Jepang," tutur dia.
Nur mengakui, tantangan utama para penenun adalah proses pembuatan kain yang panjang dan teliti. Dalam satu kain, ribuan benang harus disusun satu per satu secara presisi. Kerumitan inilah yang menurunkan minat generasi muda untuk menjadi penenun.
“Kalau tenun tradisional, enggak bisa cepat hasilnya mulai dari menghani, mencucuk, ke sisir, sampai menggulung benang ke palet prosesnya panjang. Ada sekitar 3.200 benang yang harus dimasukkan satu-satu,” ucap Nur.
Usahanya sempat terhenti kala pandemi Covid-19. Seiring berjalannya waktu, usaha Raki Tenun kian lancar. Kini, dalam satu bulan penjualan ia dan beberapa penenun lainnya bisa meraup omzet Rp 25-30 juta.
Baca juga: Komitmen Perusahaan Besar, Mulai Beralih pada Beton Ramah Lingkungan
Nur pun mengikuti pelatihan pewarnaan alami yang digelar PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melalui Bakti BCA di Istana Maimoon, Medan, selama 4-6 November 2025.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F Haryn, mengatakan program ini bertujuan membantu para penenun menguasai teknik pewarnaan alam dengan material ramah lingkungan, serta menghasilkan produk tenun berkelanjutan.
"Kami mencari jejak-jejak pewarnaan alam dengan tumbuhan asli Indonesia, yang pada masa VOC kita pernah begitu jaya. Kalau kita bedah laporan keuangan VOC, perusahaan dagang terkaya di dunia pada saat itu kontributor keduanya mereka melakukan eksportasi pewarnaan alam dengan tumbuhan-tumbuhan yang ada di Indonesia," jelas Hera.
Karena itu, BCA mengajak penenun untuk melestarikan lagi budaya pewarnaan alami di beberapa lokasi termasuk Medan agar tidak punah. Selain peningkatan ekonomi, program tersebut juga ditargetkan bisa membuka akses pasar dari produk yang dihasilkan.
"Harapannya mereka bisa menjual di event-event korporasi kami, kami memiliki market, nasabah di event corporate, mudah-mudahan itu bisa membantu mereka untuk terus memproduksi dengan kreasi wastra nusantara," ucap Hera.
Hera menyebutkan saat ini penggunaan warna alam dalam proses penciptaan kain tenun makin kalah pamor dari pewarna sintetis. Produksinya yang panjang menyebabkan pewarna alam dianggap lebih sulit digunakan dan mahal daripada pewarna sintetis.
"Komunitas perajin di sini tak hanya sekadar mempertahankan tradisi tetapu juga dapat bersaing di pasar lokal maupun global,” kata dia.
Baca juga: Inquirer ESG Edge Awards 2025: Apresiasi Perusahaan hingga UMKM yang Bawa Dampak Nyata
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya